Ketika nyawa tak lebih dari bisikan yang hilang, siapa yang akan menangisi mereka?
Dalam luka yang mengiris, ada hati yang tetap berbisik tentang maaf dan cinta.
Siapa yang berbisik di telingamu malam ini?.
Apa yang lebih hangat dari peluh, peluk, dan teluk yang memeluk sepi?
Di antara rasa durian dan doa semut. - Sebuah puisi.
Dalam gigil desember, kaleng Khong Guan membuka serpihan rindu yang renyah.
Beranikah kau menyelami chaos di dapur kepala?
Ketika kasih berlayar di samudra nestapa, adakah dermaga untuk luka?
Di tiap gigitan Swanish, tersimpan perjalanan melawan badai dan kenangan yang tak lapuk dimakan waktu.
Ketika matamu menjadi peta, aku hanyalah noktah yang hilang di lipatan angin.
Rindu adalah air yang tenang, namun tak pernah lupa memanggil bayang.
Masihkah kau percaya hidup ini hanya soal bertahan?
Belantara jiwa ini menyimpan serpihan pesan yang menggugah, tentang luka, rindu, dan harapan yang tak pernah padam.
Pantai ini, saksi luka dan rindu yang tak pernah usai.
Ketika hujan menjadi saksi bisu jejak yang terlupa, aroma kehilangan tetap abadi di hati.
Ketika kenangan dan rasa manis menyatu dalam absurditas yang menggoda, apakah kita bisa merasakannya lagi?
Doa absurd tentang pantat, ironi tubuh, dan renungan kecil yang tak terduga.
Belasan tahun berlalu, namun bisakah sebuah cinta yang tenggelam di antara pecahan risau dan aritmatika kembali berlayar?
Ketidaksempurnaan hidup selalu punya sisi lain yang mengejutkan—temukan ironi yang menyentuh dalam tiap barisnya.
Di balik cermin, terpantul jiwa yang mengelupas, mencari makna di rumah yang menampung aksara dan dahaga.