Kenangan indah melebur digenggaman pahitnya cerita,hingga menuai jadi semu disetiap pandangan.
JanjiUntukmu yang tersenyum seperti mentari Tertawa seperti lantunan melodiIngatkah engkau tentang janji kitaTentang mimpi kitaTentang masa depan
Aku ingin lupa pada kenangan yang menghantu setiap kala
Seikat kata meledak- ledak di dadaIngin keluar dari pasungan kemarau rasa Namun kerongkongan menghadangnya
Kemarin Aku Berjalan di lorong waktuAku merunduk dan terantukDi balik kacamata hitam Aku berlindung
Waktu aku bayi hampir mati, katanya sakit-sakitan, kurang gizi, terlambat untuk jalan, terlambat untuk bicara
Puisi tentang Hujan Bulan Desember. Seperti percikan api di belantara negeri
Aksara mendedah dadaMenghadang jalananMenghujam belahan kananDarah- darah tumpahKeranjang jiwa terkoyak
Hari ini Kamis pagi di pergi negeriDi ujung sumatera nan indah tertatDi Keota Raja yang megah dalam sejarahDi pusat peradaban dunia
Ada rasa yang tak sanggup membusur karena bathin tak merelakan ia terucap
Bocah kolong berwajah kusam, baju dekil bau asap pembangunan
Ada kenangan dalam lipatan jarak meronta- ronta dihujam rasa
Jika hari ini adalah nyata, Kemarin akan ku jadikan fondasi Dan besok ku akan menuai cita.
Malam ini di pinggang sepiAku menghitung debu pulas di jendelaWarna putih tersamar dalam kabutRoda terus menggulir waktu
Saat jalan kian berkabutlampion disulut di pohon-pohon rindangjiwa-jiwa lara
Ada banyak rasa berteduh dalam jiwaAda banyak kisah sudah kita layariAda banyak celah ditambal dengan citaAda banyak duka tak berbilang masa
Semalam Engkau datang menyambangMembawa sejumlah kenangan dalam lipatan jarakWajahmu begitu ceria meriah dalam harap
Perempuan tua berjalan di barisan nisan berjejerTangan terkulai mengapit bulanJasad mengapung di atas anginUban memanjang mengukur langkah