Bahasa paling jujur ialah sepi, di sudut malam sunyi terpatri
K ala malam tiba, cangkir kopi setia menemani O mbak sunyi mengalun pelan di hati P ikiranku terbang, menari di bawah rembulan
Puisi tentang merelakan yang telah pergi.
Kemanakah dia, yang sering kau sebut rumah?Apakah telah disita oleh tangan dingin bank,Yang menyita mimpi dan harapan,Menyisakan hanya reruntuhan
Di antara hening malam yang membisu,Aku terjebak dalam labirin rindu
Jangan Simpan Aku di Hatimu (Aku Tak Suka Keramaian)
Dan dalam ketenangan, akhirnya akan kutahu, apa yang didambakan hati.
Di asbak abu rokok membentang, Dihempas senja seusai kebakaran. Rokok terkulai, sunyi dalam senyap,
Einstein bilang waktu pelan kalo kita berlari kencang. Bukannya suka mengalah, jam juga suka curang kok. Kalo lagi tidak dipantau, beliau gas full
Malam Membisikan Kisah - "Benarkah takdir selalu bersalah?"
Renungan singkat tentang kemanusiaan dan kebijaksanaan.
Satu tahun. Satu detik. Seumur hidup. Sudah satu tahun sejak kau tinggalkan duniaku,
Aku ingin sekali berlayar melintasi mata, andai ada yang menemani.
Semua puisiku bergantengan tangan meninggalkanku. Aku diajak ke tebing untuk menyaksikan mereka melompat ke dalam jurang tanpa dasar dan nama
Di tepi bantaran sungai, Dengan suara burung dan sungai yang menggelegak
Malam ini, aku duduk di dekat jendela yang terbuka dan membaca sampai pelita padam.
Pikiranku seperti cermin: Ia melihat apa yang dilihatnya, dan mengetahui apa yang diketahuinya.
Aku bisa menyentuh, tanpa disentuh. Bisa dibungkam hanya dengan satu sentuhan jari. Tapi sekali menghujam jantung, raja-raja pun bungkam.
Menyalakan rokok terakhir seperti meratapi tangan kekasih di gagang pintu.
Aku berbalik di atas kerikil dan kembali ke rumah untuk mengambil buku, atau sesuatu untuk dibaca sambil menunggu di rumah sakit.