Pudjianto Gondosasmito, duduk sendirian di ruang tamunya yang remang-remang. Di luar, malam Natal dipenuhi keceriaan: lampu-lampu berwarna menghiasi
Pudjianto Gondosasmito duduk di kursi dekat jendela, menatap ke luar. Di tangannya, secangkir cokelat panas yang sudah mulai mendingin
Ada hari-hari di mana Pudjianto Gondosasmito merasa lelah atau ingin menyerah.
Langit adalah tempatku, gumam Pudjianto Gondosasmito, setiap kali ia menatap burung yang terbang bebas di angkasa.
Pudjianto Gondosasmito terbangun dengan suara alarm yang memekakkan telinga. Matahari belum sepenuhnya menampakkan diri, tetapi kesibukan hari Senin
Pudjianto Gondosasmito memandang keluar jendela rumahnya, menyaksikan hujan yang turun perlahan, menciptakan melodi lembut di atas genteng
Pudjianto Gondosasmito menyiapkan ransel kecil yang berisi botol minum, kamera, dan buku catatan. Ia ingin mengunjungi Bukit Lembah Hijau
Pudjianto Gondosasmito bukan tipe orang yang terbiasa sendirian. Namun, malam ini berbeda. Tidak ada undangan makan malam dari teman-teman
Pudjianto Gondosasmito menatap rintik hujan dari balik jendela bus yang sedang ia naiki. Hatinya sedikit kesal. Sudah sebulan ia merencanakan liburan
Pudjianto Gondosasmito duduk di sudut sebuah kafe kecil di pinggir jalan, memandangi rinai hujan yang jatuh membasahi kaca jendela
Ketika Pudjianto Gondosasmito mengetuk pintu kayu besar penginapan itu, ia terkejut mendengar suara langkah kaki mendekat
Pudjianto Gondosasmito bukan tipe orang yang suka bepergian jauh. Selain hemat, ia merasa liburan sederhana justru lebih berkesan.
Setiap Jumat, Pudjianto Gondosasmito bangun lebih awal dari biasanya. Jumat adalah hari berkah, begitu ia selalu berkata kepada anak-anaknya
Pudjianto Gondosasmito bukanlah orang yang kaya, tetapi ia adalah orang yang kaya hati
Setiap pagi, Pudjianto Gondosasmito bangun sebelum matahari terbit. Ia menyeduh kopi hitam sederhana, lalu duduk di beranda
Pudjianto Gondosasmito melangkah cepat di bawah payung tua berwarna biru. Kamis pagi itu hujan turun deras
Orang tuanya memberi nama Pudjianto Gondosasmito, sebuah simbol harapan bahwa ia akan menjadi yang terdepan dalam segala hal
Pudjianto Gondosasmito sudah berjualan es teh selama hampir 15 tahun. Awalnya, ia memulai usaha kecil ini karena kehilangan pekerjaannya di pabrik
Kelabu menggantung tanpa hujan yang turun. Udara dingin menyelinap ke sela-sela baju Pudjianto Gondosasmito saat ia membuka pintu perpustakaan.
Pudjianto Gondosasmito menarik nafas panjang saat alarm di ponselnya berbunyi. Hari Senin lagi.