Pagi yang lembabUdara basah dan terlelapjalan menggigil dipeluk hujan
Dua ratus tujuh puluh juta rakyat, duduk mengharap ingin dalam kapal pesiarmu
Munafikkah Kita?Itulah diksi liar yang lalu lalang di benak KuNegeri ini dibangun dengan tetesan darah syuhada
Musim tak lagi menepati janji, pancaroba mengelus lekuk kasih sayang
Malam ini ku bungkam ujung pena kisah-kisah pilu kusimpan dalam bilik jiwa
Lelaki setengah baya sepi di sudut kota. Senja menghampirinya, membisik secercah asa
Aksara mendedah dadaMenghadang jalananMenghujam belahan kananDarah- darah tumpahKeranjang jiwa terkoyak
Setelah matahari kembar itu, bersatu dalam cawan politik. Kulihat orang -orang berdiri di atas kepala
puisiku bukan syair penghibur orang-orang kecutpuisiku bukan pantun penuntut bunyi dan rimapuisiku bukan bait beratur jarak
Lelaki tambun muncul di ujung mesiu dan meriamWajahnya garang bagai singa kelaparanKukunya baru tumbuh, ketika raungan meriam diam