Waktu berlalu dengan dinamika kehidupan silih berganti, membawa saya ke masa kini, dimana saya sudah berkeluarga dan bekerja, menulis puisi
Tuhanku, tahun-tahun berlalu, laksana memakan buah simalakama, ragaku serasa berada dalam neraka sebelum neraka.
Di pulau ini, aku bagai nelayan yang kehilangan arah, menunggu tanda-tanda, bertanya-tanya.
Berbagai destinasi wisata telah aku kunjungi, sebagai pelipur raga yang lelah, dari penatnya urusan dunia.
Karenanya, kutuliskan wasiat pada bait-bait syairku. kelak, saat engkau merindukanku,
Oh sial, puisiku pun terjangkit stunting Kurang gizi, dan asupan nutrisi.
Seorang pemulung tua, tiba-tiba menyapa dari mulutnya mengalir banyak cerita
Waktu bergerak bisu Pada daun yang jatuh Pada bumi yang basah Pada renjana yang patah
Bersama bayangan menikmati pesta, Secawan anggur dalam genggaman,madu atau racun?
Pada jutaan tahun cahaya, Engkau pernah bertanya, "Bukankah Aku ini Tuhanmu?"
Bersama Semilir angin sepoigelagat bayu menyapa rinduperihal jarak yang menjeda temuIbu, engkau catatan yang tak pernah usai(kutuliskan...)
kelak mungkin terkuak, sedikit sedih membaca diri. sejak kanak berdagu tegak, tak mau pilih menjadi keri. . karib adalah karep membagi hari,