previous chapter Rhein menghambur ke ranjang empuk berlapis sprei biru muda. Ia ingin sekali menangis, tapi tidak bisa. Padahal ia merasa hatinya ter
previous chapter “Rhein. Kamu mau ikut Mama?!” Rosi merasa harus setengah berteriak agar pertanyaannya barusan bisa membangunkan Rhein yang masih te
previous chapter Rhein kembali ke apartemen. Dilihatnya sang ibu sedang membuat minuman. Ada tiga gelas tinggi di meja dapur dan masing-masing sudah
previous chapter Al dan Rhein melangkah melewati Maya yang masih mematung di dekat pintu. Maya sendiri setengah takjub melihat Rhein. Gadis yang dili
previous chapter Belakangan ini, keriput makin jelas tergambar di wajah Dahlan. Ia banyak memikirkan Maya. Sebagai ayah – walaupun hanya ayah angkat
previous chapter Nyonya Berta masih saja bergeming. Di hadapannya, Al dan Maya juga melakukan hal yang sama. Tapi, mereka diam karena menunggu Nyon
previous chapter Kurang lebih tujuh bulan Rosi menjadi penghuni sementara rumah keluarga Tuan Wawan. Selama itu, Rosi berusaha mematuhi apa yang pr
previous chapter Dua minggu sudah berlalu sejak Rosi memberitahukan perihal kehamilannya kepada Berta. Belum ada lagi yang diberitahu soal itu. K
previous chapter Dua puluh tiga tahun yang lalu… Pukul empat sore, Berta sudah berada di pinggiran kebun teh milik orangtuanya, tak jauh dari ru
previous chapter “Pulang?!” Al nyaris berteriak ketika mendengar permintaan Maya. “Untuk apa? Kau tidak bisa pergi begitu saja, Maya. Meskipun bisa,
previous chapter Suasana di ruang tamu itu mendadak senyap. Tiga orang dengan tiga pikiran. Semuanya belum ada yang berani bersuara. Setelah menciu
previous chapter Subuh sudah berlalu. Kini mentari bersiap hendak menunjukkan kegagahannya kepada seluruh makhluk hidup di bumi. Tak terkecuali May
previous chapter Tidak ada yang suka dengan keheningan absolut. Apalagi jika keheningan itu menghasilkan sebuah ketidaknyamanan. Tidak ada. Tapi in
previous chapter Baru lima menit. Para gadis akan membutuhkan waktu lebih lama dari itu untuk memilih pakaian. Apalagi untuk acara kencan. Mungkin ak
previous chapter Sore ini adalah Sabtu sore yang cerah, pikir Al. Dan juga sejuk! Ah, tidak juga. Faktanya, terik matahari pukul tiga sore masih
previous chapter Mengucap janji itu mudah, pikir Al. Tapi janji soal apa? Sedangkan gadis yang duduk di sampingnya malah bersikap misterius. Shinta
previous chapter “Iya, Maya.” Al diam. Ia menunggu suara Maya menggetarkan lagi gendang telinganya. Jujur, ia sangat merindukan suara lembut dar
previous chapter Al meletakkan ponselnya ke meja. Iapun kembali menekuni jarum jam di meja kerjanya yang menurutnya bergerak lebih lambat dari bias
previous chapter Sudah satu minggu, sejak pertemuan terakhirnya dengan Maya, kini Al kembali lagi ke kompleks pemakaman itu. Ia masih duduk dengan
previous chapter Maya menjatuhkan dirinya ke atas tempat tidur. Masih terbayang di benaknya, perkataan Al tentang cinta dan luapan perasaan pria it