Di lembaran Desember, kala mentari redup, Kita melangkah bersama, menyusuri jalan berliku.
Semoga bermanfaat bagi pembaca, dan terhibur disaat membacanya
Di tepi jalan, di bawah langit kelabu, Seorang hamba bernaung dalam debu.
Puisi ini mengisahkan perjuangan berjibaku di bulan Agustus dengan rutinitas kerja. Namun September hari melahirkan semangat ceria.
Ketika langit akhirnya menunjukkan warna aslinya Mentari palsu itu pudar tanpa jejak
Di ujung kelabu senja bayang mu terkikis hujan gerimis
Cinta, cita dan angan telah dilewati dengan langkah kontai nan pasti.
Meniti jalan terjal, merangkai harapan di balik derita. Peluh jadi saksi, langkah jadi doa, menuju puncak impian dengan kekuatan yang tak pernah padam
Setiap orang memiliki luka yang mungkin telah terlupakan, namun bekas luka itu masih tetap ada.
Harian usang yang tergores setia menemani kini buku harian usang menjadi kenangan yang tidak terlupakan ada kisah pilu dan menyentuh hati dalam hidup.
Tak berdaya dirundung kata dan rasa yang terhimpun demikian lama
Tahun 2023 segera akan pamit berlalu. Mungkin tahun 2023 itu sendu dan kelabu
Nov, bulan ini berdiri di atas kelabu ya Kelabu diatas kesyukuran
Pengharapan yang salah, dan patah hati yang berulang
Akankah september tak lagi ceria
Terkadang berharap lebih menunjukan kepahitan yang harus kita terima. Sudah berjuang cukup jauh, tetap saja masih dicampakkan.
Aku tidak mau loss generasi namun haruskah kejadian 1965 di Jogja kala itu aku ungkap demi rasa tahu dan tugas dosenku kali ini?
Kelabu ku, Kelabu mukita tuang dalam gelas putihyang bernama klabubila dirimutak berbeda dengan yang laintak akan aku menggapaimu
Biar aku saja yang tersakiti, aku ingin kau bahagia dalam hari