Aku sedang mencari-cariBau cintaPada tubuhmu yang mungilPada tawamu yang kecutTapi kau malah tak terimaUntuk berjumpa dengamuAku harus membenci waktu
Rasanya aku ingin sekali, berada disela-sela daun yang menggeleng
Sesuatu ikut berdetak. Aku yang tidak dalam keadaan genting
Aku menunggumuKekasihDidermaga tlah kutambatkanKerinduan yang tak mau diamLidah-lidah mempertanyakanCinta seperti apaYang sedang kita lakonkan
Aku takut orang-orang bertanya, bagaimana hari-harimu?
Aku menyaksikan orang tuaBerjalan dari ufuk timur ke baratDengan isak tangisSambil memungut ceritaDicelah waktuYang gugur dari penanggalanAku menyaksi
Melihat jam dinding di pagi hari, deru kendaraanJalanan sibuk sendiri
Bagaimana aku Jika luka datang Tiba-tiba tanpa memberitahu
Sebegitu takutkah kita, dengan kesepian? Sampai-sampai harus mengamuk, Ditengah keramaian
Begitu menghormati kata-kata Sebagaimana seorang murid takzim pada gurunya
Sesuai janji angin takkan mengganggu daun itu sebelum waktunya, senandungnya saling mendahului bersama lolongan anjing
Rumah adalah Tempat pertama kali engkau belajar benci
Mas... aku ke sawah duluMau berjumpa padi, mau belajarTetap patuh walau raga penuh isiTetap tak terganti walau banyak pengganti nasi... MasMas... aku
Di bawah semesta, cuma hatimu yang bergetar. Setelahnya, bayang-bayangmu memudar dan tersadar
Bertengger berdebat didalam. Sedang diluar, hujan sedang merdu-merdunya bernyanyi
Kali ini aku bertamasya kerumah bordil Sebuah daerah jauh nan terpencil Sebuah bangunan tua penuh lendir
Ia kedermaga Ia mau mengadu pada laut, pada jingga, pada senja
Wanita-wanita mapan berlumutTumpukan bedak dengan gincu menantangBerlindung dibalik kacamata serba hitamMengagumi cakrawala dibalik warna legam
Jalanan yang mulai kotor dan tergesa Kita dengan pikiran yang masih letih
Maju mundur jari tangan mengkerut merenggutIsi di dalam saku, hanya sebuah kertas tua pudar