Sebagai anak muda, aku ingin ada perubahan di negeriku, walau hal itu sangat berat untuk terjadi. Namun aku yakin bisa berubah jika semua mau berubah.
Apa pun yang terjadi, aku akan tetap mencintai Ibu yang telah membesarkanku dengan segala pengorbanannya.
“Akan Morgan pikirkan setelah Morgan di Indonesia dan berbicara dengan pihak kantor dan Ibu,” kataku untuk menghormati penawaran Papa.
Kisah berseri ini merupakan lanjutan dari "Apa Pun yang Terjadi, Indonesia Tanah Airku" (Bagian ke-16). Semoga maklum adanya.
Aku tidak bercerita kepada Ibu bahwa hubungan aku dengan Papa dan Mama semakin erat setiap malamnya.
Aku tidak melanjutkan argumenku kepada Gustav. Lantas, aku pun berpikir, jangan-jangan pikiranku juga pikiran seorang agnostik seperti Gustav.
Apa pun yang terjadi, hidup akan terus berjalan. Masa depanku masih panjang, tapi tentu saja tidak bisa egois menentukan jalan hidupku selanjutnya.
Aku menjadi semakin memahami warna kehidupan yang berbeda antara aku sebagai orang Indonesia dengan Gustav sebagai orang Jerman.
Setelah mendengar kisah yang diuraikan Mama dengan bantuan terjemahan dari Gustav, aku menjadi semakin penasaran dengan almarhum Ayahku.
“Ya enggaklah, kan Morgan lahir di Jerman. Ibu membawamu pulang setelah Morgan berusia sekitar dua tahun,” hmm ini kuncinya pikirku.
Ibulah yang mengasuhku dari kecil, dan dia tidak mau menikah lagi setelah Ayah meninggal karena takut kasih sayangnya kepadaku harus berbagi.
“Sampai saat ini, aku masih meyakini dia adalah ibuku. Dan, aku juga belum yakin jika Ayah kita sama Gustav,” aku bicara setengah nelangsa...
Aku merasakan ada suara-suara hati jika kami adalah dua orang yang pernah berada dalam satu rahim seorang ibu.
Banyak pelajaran hidup yang baru sejak sebulan meninggalkan Jakarta, ditambah pula dengan teka-teki kehidupanku sejak bertemu Gustav di Singapore.
Aku lebih banyak menjadi pendengar saja apa yang mereka perbincangkan. Mereka pun tak banyak bertanya hal-hal pribadi kepadaku.
“Ibu, jika aku memang anak kandung Ibu, mengapa Ibu harus takut kehilanganku...?”, tanpa sadar kata-kata itu terlontar dari mulutku.
Apakah mungkin ada yang ditutupi Ibu tentang aku? Namun, di satu sisi hatiku, aku tetap yakin aku anak kandung Ibuku, bukan saudara kembar Gustav.
Kamu anakku Morgan… Tidak ada seorangpun yang dapat mengambilmu dariku. Engkau satu-satunya milik Ibu yang berharga...
Aku akan buktikan bahwa kamu adalah saudara kembarku, dan akan kubawa kamu ke Jerman menemui Ibu kita.....
Apa pun yang Terjadi, Indonesia Tanah Airku (Sebuah Cerita dalam Rangka Hari Sumpah Pemuda)