Tiwi meneguk air dari batok kelapa sepuasnya sebelum melepaskannya kembali, menggunakan jari-jarinya untuk mengambil sesuatu dari lidahnya.
Menghela napas lega, dia hanya bisa berharap raungan itu memang suara dua suku kera sedang memperebutkan wilayah kekuasaan.
"Kamu udah gila, ya?" Tiwi mencengkeram lengannya untuk menariknya lebih dekat, tetapi Miko berhasil melepaskannya."Ini bukan waktu atau tempat....
Semilir angin sejuk lembut menerpa wajah Tiwi. Rasanya luar biasa di kulitnya yang panas, tetapi dia berharap tidak terlalu berangin supaya api....
Untung dia menerima pesan itu, karena melempar-lempar batu tidak akan membuat mereka keluar dari pulau tersebut. Tiwi sampai meninggikan suara....
Mata Zaki membelalak, nada suaranya panik saat dia mengeluarkan kata-kata yang ingin diucapkan Tiwi."Lu gila? Bangun! Kita nggak ngerti ini pasir...
Miko menyibak dahan-dahan ke samping, melangkah lebih jauh ke dalam hutan lebat, dan kemudian berdiri tegak untuk mendengarkan.
Tiwi melemparkan kayu ke dalam api. Dia berpikir tentang penyelamatan. Berapa lama mereka akan menemukan kita?
Miko berjalan mendekat dan mengambil beberapa potong kayu apung. “Gue setuju.” Senyumnya yang berkilauan ditujukan ke Tiwi.
Zaki melemparkan kayu gelondongannya ke sisa tumpukan dan kemudian menyeka kulit kayu dan kotoran dari tangannya dengan celana pendeknya.
Tiwi bergerak ke sekitarnya. “Yuk kumpulin serbuk, ranting, kayu. Kita akan membuat api yang besar, menyala-nyala—sebesar-besarnya sampai satelit....
"Ya. Kita bisa mengikuti sungai jika bantuan tidak datang. Dengan cara itu mungkin kiat akan sampai ke peradaban, seperti desa atau semacamnya.”
Teriakan Miko bergema di udara. Olahraga ekstrei selalu menjadi miliknya, bukan Tiwi. Rasa lega membanjiri gadis itu saat dia mendarat di tanah....
Tiwi mengamati jurang itu—turunan tegak dengan kedalaman ratusan meter, setidaknya sepuluh meter ke sisi lain.
Miko dan Tiwi menuruni jaring tebal sutra. Zaki berjongkok dan Tiwi melompat ke punggungnya, menempel padanya dengan erat. Dia menempelkan pipinya...
"Kita dikepung!" Mimpi buruk terburuk Tiwi menjadi kenyataan. Teror memakan setiap sel tubuhnya. Hanya bersenjatakan tongkat dan dua kepalan tangan...
Sesuatu bergerak di semak-semak yang menjulang tinggi. Daun merah marun berbintik-bintik dengan belahan hijau, mengungkapkan apa yang tersembunyi....
“Sial,” gumam Tiwi, menyeka lendir dari wajahnya dengan lengan kemeja. Dia menarik napas dalam-dalam dan menatap, ngeri, pada benda lengket itu.
Burung-burung berkicau dan monyet-monyet memekik saat Tiwi dan kawan-kawan menerobos jalinan semak belukar dan daun hijau tua yang memanjang.
Suara Tiwi bergetar. “Kita tidak bisa bertahan hidup di sini. Kita tidak punya persediaan—tidak ada makanan atau air."