Aku ingin pulang. Pulang yang sebenarnya. Namun rumah yang mana, aku lupa!. Pernah dulu, dulu sekali, waktu masih belasan, sempat aku terhilang ara
Hambar memang, pedas asinnya tak cukup membuat lidahku bergeliat lahap Hanya jeda yang membuat segalanya terlumat Menjadi gelisah yang makin resah
Sudah hampir satu jam aku termangu di bangku taman. Tatapanku tertuju ke arah anak-anak yang sedang berlari-lari kecil bermain bersama kupu-kupu yang
Aku tahu waktu kita tak banyak. Menghitung tetes-tetes airmata itu sesak. Telah kupilih dengan terpaksa menjadi orang asing di kediamanku. Ini rumahku
”Bagaimana jika dia tahu aku di sini?” aku bertanya was-was pada lelaki yang basah karena keringat semangatnya di sampingku. ”Dia takkan tahu. Kupa
: senja ke seratus masih menayang bukan tentang hirukpikukmu ini tentang aroma tubuhnya mengalahkan kecut puluhan raga saat ia mengecup basah
: Kekasih tak sampai Belum genap rinduku. Itu yang kukatakan padamu. Tapi lupa kapan kuucap. Rasanya sudah lebih dari bulan yang lalu. Setelah itu
III. Sore ini aku kembali menikmati angin pantai sambil menanti senja yang sesaat lagi akan memamerkan kilaunya tepat di depan mataku. Ini hari ke
Letizia, gadis manis yang setahun lagi akan memasuki kepala 3 dalam perjalanan hidupnya saat ini sudah ada di depanku. Duduk menatap tajam ke arahku
II. ”Ayah, sakit...!” aku meronta ketika tiba-tiba ayah masuk ke kamar lalu menarikku keluar dari rumah di malam-malam buta. Tanganku dicengkra
PROLOG “Pakai rok ini…!” ujar mama yang tiba-tiba masuk kamar tanpa permisi dan sehelai rok berline A berpindah ke tanganku. “Huh, berapa kali
: pada rahim malam hamba mengadu jejak hamba menimang bulan dalam rantauan selaksa kisah sejak jaka meminang puan sedalam tuaian membuai resah