Bibir itu pintu masuk, memahami setiap makna.
Cinta berdegup, nyalakan hidup, kita bersama lagi.
Berkata manis, tak punya pengaruh, jika hatinya keruh.
Dendang dahlia, walau membelukar, indahnya ada. Tebar pesona, hampar tiada tara, subur jiwanya.
Karna haiku, asa tetap terpacu.
Sepagi mendung, jauh dari berkabung, hanya termenung.
Di kota tua, cinta subur bersemi, lintasi kini. Setiap saat, ingin kenang mendekat, hati terikat. Seperti bunga, setia di rantingnya, hingga menua.
Kesunyian itu perlu dinikmati, saat mengayuh asa diri.
Menjadi bunga, banyak tantangannya, agar berguna.
Bosan itu ternyata ada di mana-mana.
Kekuasaan itu tak pernah merasakan kenyang.
Hidup dipenuhi beban, akan berat bila disandang.
Kerapuhan hati datang tak terduga, penyebab luka.
Tanpa emosi, kendarai haiku, semakin syahdu. Suasana itulah, jernihkan pikir, segan berulah.
Jendela hati, jika terbuka, sejuk sekali.
Kagumi citra, terkadang bertemu makna hampa.
Cahaya selalu ada, hanya kita yang menggelapkannya.
Perang bukanlah jalan yang membanggakan. Pemenang Perang Tak Membanggakan
Budaya itu memuliakan manusia.
Bernasib itu bersifaf proaktif, bukan reaktif.