Dalam peziarahan hidupku Ada seni antara senyum dan air mata Dapatkah engkau memadukannya?
Sebuah puisi yang melukiskan rasa tentang anak dan retorikanya.
Kunikmati lara ini sendiriKutapaki hariku dalam dukaBerteman dengan bayangmuyang tak pernah mau pergidari ceruk hatiku
Mari menjadi tidak sederhana, buka tidak bisa memilikinya. hanya saja saya memilih untuk tidak memilikinya. tidak ada yang perlu dibuktikan
memaknai ketidaan kita dihadapan-Nya adalah bentuk manunggal seorang hamba dengan Tuhannya. ketika sudah tiada ego diri maka sejatinya itu insan kamil
Puisi Sang Murobbi ini saya tujukan kepada para guru, masyayikh saya dalam menuntut ilmu di pesantren
ada akal yang tertawa picik menyalahkan setiap jengkal rona warna manusia
Pancasila, hiduplah engkau selaluAgar bangsa ini terus semerbak wangiJangan menyerah tundukSampai kapanpun tetap muliaMalang, 1 Oktober
Rotasimu membuka matakuDia bukan lagi untukkuAku sadar ada kumbang lebih baik darikuDilatasi mengakhiri telaga biru kita
Sang Pemilik Seluruh Dunia Atas segala harap yang aku lagitkan
Di antara gelombang detik yang berkejaran, engkau hadir bagai jejak samar di atas pasir,
Puisi yang menceritakan ketakutan, kesedihan, dan harapan kepada seseorang agar bisa kembali seperti dulu
Dan, aku tahu engkau polos seperti permata dan intan serta berlian
Dalam setiap senyumnya, tersimpan cahaya yang tak pernah pudar. Seperti firman Allah yang berbicara tentang cinta, rahmat, dan keindahan yang tersembu
Bunga viola, mungil nan menawan, bak perempuan jelita. Ungu lembut, kuning cerah, putih suci, merah menyala... Pesonanya memikat jiwa.
Temukan kekuatanmu, jangan menyerah. Terobos aja sampai waktunya tiba.
Tubuhmu itu adalah bumi, tapi mengapa engkau menahan setetes embun jatuh dari kedua kelopak matamu? Jika angin yang membawa mendung, mengapa mulutmu
Tergerak hatiku ketika engkau tak bisa bersikap adil dalam kesetaraan
Seringkali langkahku terhenti, Dihadapkan pada jurang yang dalam.