kisah Omjay kali ini tentang Mengajar dengan Cinta, Bertahan dengan Derita: Kisah Duka Para Guru Honorer. Semoga dibaca oleh para penentu kebijakan.
Merana tanpa derita, adalah ujian yang mematangkan,Untuk suatu hari nanti, merasakan hidup dengan penuh.
"Bagaimana kabarmu?" , "Aku baik-baik saja."Itulah yang sering kita ucapkan. Namun, apakah kita benar-benar baik-baik saja?
Bukan bahagia di atas derita, hanya pencerita yang mendengar jerit, tak bersuara.
Raga ini tak ada persiapan lebih Menahan derita untuk menjadi peluru dan kapan menyudahi peperangan yang sedang terjadi?
Menerima pengajaran. Memaafkan orangtua adalah jalan yang paling mungkin bagi innerchild yang bahagia.
Akan selalu ada kata yang tak terucap. Tersimpan di sudut hati yang mungkin tak dihiraukan karena riuh pikiran yang bergemuruh mengejar waktu.
Kegembiraan derita, menari sunyi dalam nikmatnya adalah tafsirku sendiri.
Sakit adalah bukti Tuhan sayang pada umat-Nya karena di dalam sakit ada pengampunan yang diberikan dan ujian ketabahan.
Meski miskin harta, kaya akan cinta, di negeri ini, setiap doa bersatu di udara.
Derita Diatas Derita mengajarkanku tentang keteguhan
Salah satu santri yang menjalani kehidupan berat ini adalah Taba. Berusia 16 tahun, Taba berasal dari sebuah desa di pelosok Jambi.
Tidak ada senang tanpa diawali susah, derita, dan gembira.
Menguak derita warga Kecamatan Simbuang di tengah kondisi wilayah terisolir akibat bencana tanah longsor
Sebatang bunga yang hidup di hutan belantara tak pernah disentuh orang. Merasa sedih dan derita pilu yang amat dalam hidup sendiri tanpa teman satupun
Kuseduh teh jam tiga pagi dini hari Menyesap aroma segar seorang diri Berbicara pada jam dinding yang lama mati
Derita lama yang menyimpan pilu yang tak berkesudahan, bersamayam bersama waktu yang berjalan
Aku perempuan, tak lagi hanya nama,Tapi simbol derita dan lara,
Bulan berdarah, oleh dingin berita berkemul mega-mega hitam, pekat dan buta duka atas perginya satu keluarga
Aku akan selalu hadir dan akan menghapus setiap kesedihanmu.