Pada tetes embun pagi buta, kuasuh segenap resah di bulir masa. Puisi tentang pemaknaan hidup
Sederas benci langit menggumam awan hitamMenderu kesumat-kesumat tak lagi sekedar marahDipintal lah segala kekilafan tanpa menimbang jejakMenampi-namp
Rizal De LoesieApakah rahasia airmataSeperti bulir-bulir embun di ujung malamYang membangunkan tiap kuncupMenarikan hijau pucuk-pucukSeiring fajar men
Aku membayangkan setumpuk rumahMembungkus luka memarDi wajah angin, di tirai sunyiKepada kelopak-kelopak saljuTerhempas keping jelaga diurai lampuAda
Cukup sudah, nyanyian dan kepak sayap takkan mampu menghibur,Bilur-bilur ini memahat jauh di lorong, semenjak senja tercatatAkasia yang usik di halama
Kini hanya se carik kertas.,Dengan aksara yang rebahTertiup angin di sisi trotoarAda debu melekat menjadi kulitSembari kata hanya gumam,Penghantar mal
Lunar mungil mengintip di antara kerak awan. Ujung malam yang mengamit dingin sampai ke ulu hati.... tiada deru dan kilau lampu, senyap. Jangkrik dan
Hujan bulan November,kaki melangkah, ingin jauhJauh ke ujung langit,Menebar benih cahayadi pucuk langit,Agar gulita tiada berkata, Syair sampai,
Kecipak alir Indragiri menyusuri ladang kenang,Aroma bakau menjelma nuansa sunyi tepian sungai,Wangi rerumputan, disana kita duduki sejuta rasaKeseder
Sampai suatu saat nanti, aku tiada yakin engkau pernah percayaKarena berpijak pada jalanan yang retak, hati yang bengkak,Menggugur semua putik putih,
Ibunda,Oh ibunda, kepadamu aku mengaduKepadamu aku ingin rebahkan segenap piluHidup yang kulalui ini ibunda,Belantara mengurung jiwaku,Jatuh dalam san