Napasnya mulai memelan. Lalu hilang ditelan malam. Aven mengejar Lumbung dalam dunia bintang-bintang. Semoga ketemu.
Ia tetap yakin jika suatu saat nanti akan ada orang yang bisa menangkap monster itu. Ia yakin, orang itu adalah kiriman Tuhan.
Kertosono adalah cermin keberagaman manusia dengan keyakinannya. Pecel tumpang mengajarkan memahami perbedaan.
Dua sahabat itu terus bercanda. Kerinduan memang kadang membuat orang lupa ingatan. Di sebelah sana, Lalang hanya fokus pada perjalanannya.
Begini kira-kira: Lumbung, sahabatmu, sumber inspirasimu, datang berkunjung. Terimalah aku sebagai mahkluk hidup.
Ia seperti melihat Aven punya takdir yang bisa ia rangkai sendiri.
Dimensi itu membincangkan satu nama yang baru saja datang. Ia adalah Cemara. Puzzle yang lain lagi. Bukan Mirna yang sinting. Gila. Nekat.
Namun, di keheningan itu, terculik ingatan. Dan menempatkannya pada dimensi yang tak terlihat.
Dalam perjalanan menuju tempat jauh; negeri antah-berantah, paling sulit dilakukan adalah memulai perjalanan itu.
“Sam[1]! Bagi kopinya. Peh[2]!” Suara Kun besar, serak dan memuakkan. Gelegarnya membuyarkan