Dalam sebuah komen, Mas Arief Er. Shaleh seorang Kompasianer yang selalu tertawa dan tak pernah sedih, bertanya pada saya: "Hantu-hantu kenapa pada me
Realisasi dan tindak lanjut di tingkat bawah dengan berbagai pertimbangan, menyebabkan seakan-akan jajaran Kemendikbud lambat menyikapi. Tetapi, Mas N
Aku memungut sisaMasih menempel di telinga-telinga romansaOrang-orang kesepianAku membaca dirimuSemampu yang aku bisa, sebab....Kau masih melambaikan
Sangkala berkalung hujanReda suluh dalam pelukanBinasa semangat terlupakanDedaunan terhuyung nistaRanting-ranting menutup mataJiwaku meregang dibelah
Maaf….Mampuku hanyaMemberi sekuncit bungaKesuma tepian mata IbundaKanjang pusaka sebahu AyahandaMaaf….Mampuku hanyaMemberi lukisan pensil tuaKupotret
Hai, genit kau sapa dirikuDalam ketelanjanganTanpa kerai sehelaipunKulihat engkau berpukas menariMeliuk-liuk di depan mataAku tersendatKupeluk dirimu
Aih, rusuhnya kecipak airMemantul-mantulkan kempung udaraDari ikan-ikan kecil di empang mungilSemungil manjapada yang aku jagaAku kelimpunganSaat ikan
“Bagaimana?” Tanyaku singkat.Belum ada sepatah katapun ke luar dari bibir manis istriku. Mata indahnya kembali memandang hamparan sawah. Membentang lu
Mari siniKita nikmati dua balon di tanah gersang ituSama bentuknya, beda warnanyaTolong ambilkan kertas dan pena itu.... Untuk apa?Menulis hikayat, me
Kita kadang mengerutkan keningMengapa tongkat menunjuk huruf besarMungkin....Kita harus lebih mengerutkan keningPadahal paduan suaraBernada bedaDan me