Semasa ini, kutuliskan kisah dari kemasaman nurani. Agar ketika jasadku disebut mati, bunga yang ramah kupetik masihlah mekar mewangi-- Agar ketika ji
Kepada rindu itu selayak memandang ruang sastra tanpa batas walau terlahir wujud seutuh puisi dan hanya ukiran-ukiran pena rahsa sanubari Kepad
Aku enggan menulis-Mu, Tuhanhanya sekedar berpuisidengan seutuh rahsa manusia bertatap-pun, tidakbahkan tatkala napas ke-senja-an alam berteriakp
Di arah keremangan wajah penghujung haridi bawah rindang sepohon Kasturipanggilku dengan lirih suara manja, namamu--namamu, oh Yuwati(ku)penebar wewan
Wahai putra-putri jagad dewanidengarlah bait-bait malam yang berpuisidengan mengingat aroma kesedihan ; melukis mimpi sebelum matidengan menyuara kehe
Tertinggalkan jejak autumn biru sejukserta ayunan debu nista yang lembut dipeluktatkala seranting Akasia tertundukmenyesap sisa aroma senjadengan sede
Katakanlah,"Pagi!"Walau wujud sebayangmu bunga-bunga puisidengan tangkai yang rapuhjuga dahan yang beranjak sepuhdan bijaksana embun masih peduli 
Seucap resahtersadar lelahmenasbihkan titik-titik embun basahdi temaram mata pagimenyemat seutuh rahsa filantropi Klandestin ; bunga Matahari ter
Kami, sang Puisiterlahir atas rangkaian aksara-aksara imajinasiatas segala kekurangan yang berterimakasihdengan kelebihan satu sama lainpun saling mel
Mata penaku masih mencarisetitik tinta cinta yang tersisadi kenihilan udara yang bergoyangdalam ruang kebenaran insandari birai yang telah runtuhaksar
Remang wajah bumidesau lirih pertanda mata langit gerimisdi sisi pagibercengkrama dalam kelembutan kabuttiada warna distorsi diricukuplah puisidan itu
Gerimis berhamburan di sinidi antara bekas jari-jari puisidan bisik rindu yang tiada letihmengusik sederetan aksarakudari kelembutan warna tintadi lus
Tinta-tinta aksara pecahberhamburan, melebur di dalam matayang mengusung pudaran lembayung senjamenumpah gemawan candramawa Ujung pena menjajaki