Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo begawan ekonomi pada masa Presiden Soeharto, menyatkan kebocoran anggaran belanja negera sekitar 30 persen, yang dilansir di Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) ke – 12 di Surabaya, November 1993. Dan Indonesia menjadi negara terkorup di Asia.
Sudah empat presiden berganti sejak turunnya Presiden Soeharto, keadaan negara ini tidak jauh beda. Bahkan semakin parah. Berbagai peraturan dan instrumen silih berganti, korupsi tetap saja bersmi. Pengerukan uang negara oleh penjahat berdasi mencapai Rp. 103 triliun. Ternyata komitmen politik pemberantasan korupsi yang selama ini dikempanyikan pemerintah, dengan memperbaharui peraturan dan undang – undang anti korupsi, ada lembaga KPK, pengadilan tipikor. Ternyata justru korupsi anggaran di pusat dan daerah semakin marak.
Melihat penduduk Indonesia merupakan Muslimnya mayoritas, seharusnya hal ini tidak akan terjadi. Kalau mereka shalat, puasa, membayar zakat dan berhaji dengan benar. Apalagi kalau merka menghayati ikrar utama sebagai muslim, yaitu dua kalima syhadat.
Ikrar sebagai muslim, dengan mengakui adanya Tuhan yang Maha Melihat dan Maha mendengar, tentunya mereka akan takut melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Mereka meyakini semua perbuatannya akan dilihat oleh Tuhan, meskipun orang lain tidak ada yang melihatnya. Meskipun selamat di dunia – terbebas dari hukum penjara, tapi mereka yakin di akhirat ada pembalasan yang sangat pedih.
Shalat yang seharusnya mencegah perbuatan keji dan mungkar. Puasa yang seharusnya menjadikan rasa peduli kepada sesama umat dan tambah taqwa. Zakatnya seharusnya ada kepedulian yang lebih tinggi terhadap lingkungan dan lebih mencintai akhirat dibandingkan harta. Dan, hajinya memberikan rasa kebersamaan, tambah kesabaran dan perubahan prilaku.
Kenyataannya, mereka lebih takut dihukum di dunia, tidak takut ancaman akhirat. Kenapa hal ini bisa terjadi?, meskipun mereka shalat, puasa, bayar zakat dan berhaji.
Mengapa demikian? Jawabannya karena kita mengamalkan agama hanya sebatas formalitas yaitu ketika amal ibadah dikerjakan tetapi tidak membawa dampak perubahan apa-apa bagi pelakunya. Sekedar melepaskan kewajiban, yang lebih parah melaksanakan ibadah hanya karena ikut – ikutan dan pencitraan.
Apalagi pendidikan agama yang didapat hanya sebatas formalitas saja, yang penting lulus dan kalau bisa nilainya tinggi. Apakah sudah diamalkan atau tidak itu lain masalah.
Kalau kita berkaca pada Nabi Muhammad SAW waktu mendidik sahabat – sahabat beliau. Para sahabat yang dididik Nabi SAW menjadi generasi ideal yang memiliki kecerdasan intelektual dan moral-spritual. Pendidikan Nabi SAW bervisi integritas antara kecerdasan intelektual dengan kecerdasan moral-spritual tersebut.
Apabila belajar Alquran 10 ayat dari Nabi SAW, mereka tidak akan berpindah ke ayat lain sebelum memahami isi dan mengamalkan kandungannya. Mereka belajar Alquran, ilmu dan amal sekaligus. (Tafsir al-Thabari,i.80).
Pendidikan kita saat ini hanya mengedepankan kecerdasan intelektual. Hasilnya pendidikan kita hanya melahirkan "intelektual maling".
Dengan momintum tahun baru hijriah, marilah kita merubah (hijrah) kepada ibadah yang memberikan bekas untuk selalu lebih baik. Semoga kita dapat mengubah perilaku agar tidak terjebak dalam formalitas agama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H