Mohon tunggu...
Abdul Kadir
Abdul Kadir Mohon Tunggu... -

Lahir di Banjarmasin, pernah tinggal di Tanjung Tabalong, selama 14 tahun,Surabaya 1 tahun, Biak Papua selama 4 tahun, sekarang di Kotabaru. aktif menulis cerpen dan puisi dgn nama pena Abdun Albarra,beberapa cerpen dan puisi telah dibukukan dgn judul Catatan Sang Pengembara, dicetak Magnum Jogja.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Musibah Salah Siapa?

1 Oktober 2011   16:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:26 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Abdul Kadir

Gerimis pagi ini belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. “Ah… sekalian lebat, biar diam di rumah saja, sambil menikmati kopi panas dengan gorengan dengan alunan musik alam yang tercipta dari bunyi seng yang terkena hujan.” Memang suaranya bagai dentingan suara merdu petikan gitar klasik, menelisik masuk ke kuping, meresap di kulit kasar, merasuk ke kalbu menembus dinding keangkuhan, - melunakkan hati - . Seperti kesadaran Ibnu Hajar yang melihat bagaimana air mampu membuat berlubang sebuah batu yang keras. Teman saya nyeletuk, “ jangan minta lebat, nanti banjir lagi” Air diperlukan, diharapkan dan menjadi teman, suatu kali kalau dia marah bisa menenggelamkan beberapa desa. Baginda Rasul pernah bersabda yang diriwayatkan oleh Abdu Dawud dan Ibn Majah: kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput (hutan) dan api (energi).

“Ah..kenapa aku jadi membicarakan masalah air,” mungkin karena sudah berapa kali kampung-ku dilanda banjir. Ratusan rumah terendam bahkan sampai memakan korban. Air yang seharusnya membawa berkah, tapi kenapa sekarang justru menjadi musibah. Begitu juga dengan api, kita perlu api, namun kalau sudah membesar, akan menjadi musibah juga, seperti kebakaran rumah, toko, bahkan hutan. Adakah yang salah, yah… , itu karena ulah yang namanya manusia yang serakah, hanya mementingkan diri sendiri. Hutan gundul penambangan yang tidak terkendali, terus,- korupsi hampir disemua lini, tawuran, pembunuhan sadis dengan mutilasi (apa hubungannya dengan banjir, api dan korupsi, aku juga tidak tahu, asal nyebut saja). Lalu, terus,- ah..terus…terus, enak aja, aku yang bingung.

Sampai saat ini matahari masih sembunyi di balik hitamnya awan, seperti enggan menampakkan diri, bagai gadis desa yang dipingit. Ada lagu, tak selamanya mendung itu kelabu, tidak dengan hari ini. Mendung memang kelabu. Aku bingung harus darimana, bagaimana, dengan apa, dengan siapa aku harus memulainya.

Aku mencoba membaca Koran, entah koran tanggal berapa asal comot saja. Ada berita apa, karena beberapa hari ini aku tidak baca koran – yang biasa rutin menjadi bacaan tiap pagi, begitu pengantar menaruh di meja taman rumahku -, masyaallah berita miring dari gedung yang miring. Anggota dewan yang terhormat banyak yang membolos, tapi merasa terhina dengan adanya absen pemindai sidik jari (finger print), tapi tidak merasa terhina karena membolos. Kalau ingat waktu kampanyi mengubar janji membela rakyat, rakyat yang mana. Kuletakkan koran itu, ku ambil lagi yang lain, eh. Berita .anggota Dewan, mereka minta uang ratusan juta perorang, katanya untuk membangun rumah aspirasi, emangnya selama ini tidak bisa menampung aspirasi, ah.. yang dipikirkan uangnya saja, padahal kerjanya bolos, undang-undang Cuma berapa yang diselesaikan, masih ada ratusan yang menunggu.

Kubuka lagi halaman berikutnya MUI fatwakan haram infotainment, ada apa dengan infotainment. Katanya karena membuka aib orang lain mengubar gosip, tapi kan ini yang disukai pemirsa, sebab mereka sudah bosan dengan politik negeri ini, pejabat yang korupsi, dewan yang terhormat tawuran. Tidak ada bedanya dengan anak sekolahan. Ya…, memang itu kenyataannya, apakah negeri ini sudah terbiasa dengan saling buka aib, suka gosip, pencemaran nama baik. kalau haram infotainment mau nonton apa lagi, karena sudah bosan dengan berita kejahatan yang dilakukan oleh penghuni negeri ini – dari pejabat sampai rakyat jelata -, lalu acara apa…, ah… kan ada Opera Van Java meski ceritanya tidak jelas, amburadul – saling pukul, saling dorong -, apakah itu gambaran negeri ini, yang penting bisa ketawa.

Hujan masih belum reda, aku masih belum tahu apa yang membuat hatiku gundah, koran yang tadi kubaca, kubiarkan saja jatuh di bawah meja.

Sebentar lagi puasa, bahan pokok sudah merangkak naik, kalo yang berduit sih tidak jadi masalah, kasihan rakyat kecil, yang sudah berpuasa sebelum puasa. Idealnya sebelas bulan cari uang, maka satu bulan dalam ramadlan ini istirahat saja, khusus ibadah, tapi bagaimana lagi. Boro-boro nabung untuk makan sehari-hari saja pas-pasan, bahkan kadang tidak cukup. Sebenarnya aku malu juga dengan temanku, dia nyeletuk, “ senang baca koran ya…?”, aku mengiyakan dengan bangga, kemudian dia diam sejenak sambil menatap wajahku yang sumringah, “al Qur’an juga kamu baca tiap hari? ”, dek… hatiku berdekat keras bagai dipukul dengan palu. Aku baru sadar, sudah berapa bulan, mungkin sudah tahunan, aku tidak membuka kitab yang seharusnya menjadi pedoman hidup, yang akan menuntun ke jalan yang lurus.

“ Bu.., banjiiir …,” teriak anak dari kamarnya sambil berlari ke luar. Dalam dua bulan ini sudah empat kali banjir. Seingatku, empat puluh tahun aku hidup, baru dua tahun terakhir ini kampungku dilanda banjir. Dulu meski hujan satu minggu kampungku tidak pernah kebanjiran. Berbagai alasan yang dilontarkan oleh mereka yang punya kuasa. Ustaz bilang itu karena akibat perbuatan kita sendiri, kemudian beliau mengutip firman Tuhan : “telah tanpak kerusakan di darat dan di laut, akibat olah manusia itu sendiri”.

Aku jadi ingat dengan lagunya Ebiet G Ade, “ mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa – dosa, atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita ”, dan Ebit, menyuruh kita bertanya pada rumput yang bergoyang. Aku mulai berpikir, benarkah apa yang di katakan Pak Ustaz atau lagu itu. Benarkah itu ulah kita sendiri atau Tuhan yang mulai bosan dengan tingkah kita, karena dosa – dasa kita.

Tuhan menjadikan manusia sebagai khalifah di buka bumi agar menjaga dan melestarikannya alam ini, bukan semaunya mengeksploitasinya.

Kotabaru, 29 Juli 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun