Mohon tunggu...
Tachta Erlangga
Tachta Erlangga Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Biokimia di Jepang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Toleransi Dua Arah

12 Juni 2016   23:35 Diperbarui: 12 Juni 2016   23:47 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ditengah ramainya issue razia restoran, hari ini kebetulan saya melihat status di salah satu page mendiskusikan satu topik, kenapa kita yang berpuasa harus menghormati orang yang tidak berpuasa? Yang mempertanyakan pernyataan tersebut rata- rata pendapatnya mirip: kenapa musti pihak beribadah yang menghormati pihak yang tidak beribadah? Kenapa harus pihak mayoritas yang menghormati pihak minoritas?

Untuk membicarakan issue ini, pertama-tama kita bisa mulai dari definisi tepo seliro, atau toleransi. Tepo-seliro, berarti bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain. Sejak SD, kita sudah diajarkan bahwa di Indonesia konsep tenggang rasa sudah menjadi budaya bangsa kita selama berpuluh- puluh tahun.

Meski begitu, ada satu poin penting yang mungkin sering kita lupakan dari toleransi. Ada sebuah quote terkenal yang berbunyi "Tolerance is a two way street." Artinya, toleransi itu berjalan dua arah. Poin inilah yang sering kita lupakan.

Toleransi bukanlah konsep yang membahas pihak mana yang harus menghormati dan dihormati. Bukan soal siapa yang beribadah siapa yang tidak. Bukan juga siapa yang mayoritas dan siapa yang minoritas. Terlepas dari itu semua, toleransi tidak akan berjalan kalau hanya berjalan satu arah.

Sebagai seorang muslim yang berpuasa di negara mayoritas non-muslim, saya mengalami bagaimana "ribetnya" menjalankan kehidupan beragama sebagai pihak minoritas. Saya ingat betul bagaimana takutnya saya pertama kali waktu minta izin ke profesor keluar kelas lantaran waktu salat sudah mepet, atau canggungnya saat melakukan shalat di taman dan tempat terbuka lainnya karena keterbatasan masjid. Saya juga tahu betul bagaimana rasanya ketika teman saya mengajak party atau sekedar makan diluar, tapi ternyata menunya semua mengandung pork atau alkohol *sakitnya tuh disini...(remes dada)*

Sekilas kalau membaca pengalaman saya diatas, mungkin terkesan saya lah yang harus "mengalah" kepada pihak mayoritas, yang dalam kasus ini adalah masyarakat Jepang. Tapi diatas saya belum menyebut, kalau ketika saya minta izin ke profesor untuk beribadah, beliau dengan baiknya mempersilahkan saya untuk keluar dari kelas, bahkan menyediakan ruangan khusus shalat untuk saya. Pun ketika saya shalat di taman, tidak ada yang tiba2 datang lalu mengusik saya.

 Ketika party atau makan diluar pun, sering kali mereka menyediakan seafood atau bahkan daging halal hanya untuk saya. Kalau pilihan menu yang bisa dimakan sedikit, kadang saya dipesankan menu khusus yang bisa saya makan. Bahkan seringkali teman saya lah yang lebih cerewet dari saya bertanya2 ke pelayan apa ada pork di dalam menunya.

Inilah yang namanya konsep toleransi. Masyarakat Jepang, alih2 minta dihormati, mereka justru berusaha agar saya bisa menjalani kehidupan normal disini tanpa harus menghalangi hak saya untuk beribadah. Dan sikap mereka membuat saya paham, saya pun sebagai minoritas tidak bisa dan tidak berhak mengubah Jepang menjadi seperti Indonesia hanya untuk kepentingan saya beragama. Kami bertoleransi satu sama lain. Dan menurut saya, toleransi seperti inilah yang dibutuhkan di negara kita. Toleransi dua arah.

Mungkin kita bisa belajar dari Jepang, yang penduduknya sangat homogen dan agamanya tidak jelas apa, tapi ternyata lebih paham arti toleransi dibanding kita yang dari sd sudah dicekoki slogan Bhinneka Tunggal Ika.
Mungkin juga alih2 berdebat siapa yang harus menghormati siapa, kita bisa lupakan ego kita sejenak dan mencoba berpikir jernih, bahwa rasa hormat adalah hal yang kita "dapatkan", bukan hal yang bisa kita "tuntut" dari orang lain.

Sebagai penutup, saya mau mengutip kata2 dari Robert Green Ingersoll, salah satu tokoh politik amerika ternama,
"Tolerance is giving to every other human being every right that you claim for yourself."

Salam damai :)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun