Titik mula pernjelajahan kota saya awali dari Church Gate Station. Setelah di part 1 saya menceritakan kisah bagaimana susah-tapi-seru-nya perjalanan ke sini, akhirnya saya bisa bernafas lega sedikit lantaran bisa keluar dari kereta dalam keadaan sehat walafiat tanpa kehilangan sepeserpun uang satau satu batang pun jari tangan (yakali bu…)
Sampai stasiun, saya kembali di hadapkan satu masalah. Jadi saya sebenarnya mau kemana? Haha. Di hape saya masih belum muncul sinyal sebatangpun. Saya benar- benar cuma bisa berpegang dengan selembar kertas putih yang berisi nama- nama tempat wisata di sekitar sana, yang dituliskan oleh petugas bandara tadi. Lokasi persisnya? Meneketehe…
Sebenarnya saya bisa saja panggil bajaj atau taxi dari sana, mengingat ongkosnya bahkan lebih murah dari Jakarta. Tapi, saya kasih satu saran, di india, jangan sampai kita terlihat bego di depan supir angkutan umum, soalnya bisa- bisa kita dibegoin benaran. Ada tiga kriteria sasaran empuk bagi para penipu yang berkedok supir bajaj. Pertama orang asing, kedua yang ga bisa bahasa Hindi, ketiga yang punya wajah orang kaya. Nah masalahnya kata teman India saya, saya memenuhi kriteria nomor satu dan dua (sialnya gak yang ketiga, cih). Sering saya mendapati diri saya dipasang harga semahal tiket kereta antar kota, padahal jarak yang ditempuh ga sampai 2 kilometer! Semenjak itu, saya selalu cari tahu berapa ongkos normal untuk mencapai tempat tujuan saya. Tanya saja sama orang lewat atau bapak- bapak yang penjaga warung, mereka akan menjawab dengan ramah dan jujur.
Kali ini saya mendekati bapak stasiun. Bertanya beberapa tempat wisata disana, dan berapa kira- kira ongkosnya kalau naik bajaj. Bapak tersebut menjelaskan dengan ramah, meski kebanyakan dengan bahasa tarzan. Tapi okelah. Yang penting saya mengerti.
Ternyata katanya, tempat- tempat yang ingin saya tuju tidak terlalu berjauhan satu sama lain. ‘Mending kamu naik shared-taksi, paling cuma butuh 40 rupe (8000 rupiah).’ Saya mengangguk mantap dan mengucapkan terima kasih.
Keluar dari stasiun, mata saya langsung disuguhi beberapa bangunan tua bergaya eropa. Taksi- taksi berwarna kuning berjejer menunggu penumpang. Di India, taksi juga berfungsi sebagai angkot. Artinya, kita bisa share tumpangan dengan orang lain. Dan ongkosnya pun ga lebih mahal dari mikrolet!
Seorang supir taksi memanggil saya, menawarkan tumpangan. Saya bilang saya mau ke Chhatrapati Shivaji Terminus, atau CST. Setelah sepakat dengan ongkosnya, sekitar 40 rupee, saya masuk ke taksinya yang ternyata sudah di penuhi penumpang.
Karena saya duduk di depan, saya lumayan banyak ngobrol dengan pak supir. Dia mengaku kalau dia muslim. Waktu saya bilang “Asalammualaikum”, dia kaget terkagum- kagum. Saya bilang, saya juga muslim. Dia bingung sejenak. “You are good at joking,” lalu tertawa keras. Saya ikut tertawa, tapi menangis di dalam hati. Sialan si Bapak, jangan salah, sipit- sipit saya lancar baca ayat kursi tauk.
20 menit kemudian, akhirnya saya sampai di CST. Jangan bilang pernah ke Mumbai kalau belum mengunjungi Chhatrapati Shivaji Terminus. Stasiun tua yang merupakan salah satu warisan budaya dunia oleh UNESCO ini memang lebih dari sekedar tempat naik kereta. Stasiun ini didirikan pada tahunn 1878, dan dibutuhkan 10 tahun untuk menyelesaikan konstruksinya. Dengan design khas ala Victoria-gothics dan ukiran- ukiran serta relief yang begitu detail di setiap sudutnya, tak heran keindahannya menjadikan tempat ini menjadi salah satu spot favorit turis di Mumbai.