Oleh Tabrani Yunis
The Train Robbery itulah judul buku yang pernah saya baca saat saya masih belajar di kelas II SMP Negeri Manggeng, pada tahun 1978. Buku cerita dalam bahasa Inggris yang menjadi salah satu buku yang  tetap hinggap dalam ingatan saya. Padahal, mungkin banyak buku lain yang saya baca, tetapi saya tidak begitu berkesan dalam ingatan. sementara buku cerita bahasa Inggris the train robbery itu hingga usia saya 55 tahun, masih saja ada. Buku cerita tentang perampokan di kereta api itu, sebenarnya menjadi salah satu buku yang saya sukai, karena saat itu, saya mulai mencintai bahasa Inggris. Saya mulai tergila-gila untuk belajar bahasa Inggris. Padahal, saat itu desa kelahiran saya di Pasar Manggeng, di tahun 1970 an itu, adalah desa yang berada di pasar Manggeng, namun saat itu kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Barat, adalah dua kabupaten yang bisa dikatakan terisolir. Kalau dari Banda Aceh menuju ke Tapak Tuan, ibu kota Aceh Selatan saat ini, yang jaraknya hanya sekitar 400 kilometer dari ibu kota Provinsi Aceh, bisa menempuh perjalanan berhari- hari. Apalagi saat musim hujan, perjalanan bisa sampai seminggu. Mungkin anak-anak sekarang tidak percaya bila diceritakan demikian, karena sekarang perjalanan ke Manggeng, bisa ditenpuh dengan hanya 5- 6 jam dengan mengemudi mobil. Perjalanan yang begitu lama, karena pada saat itu kondisi jalan dari Banda Aceh ke Tapak Tuan, masih berbatu-batu dan berdebu.  Ketika naik  bus di Manggeng, rambut masih hitam, maka sesampai di Banda Aceh, warna rambut sudah berubah kuning, karena sudah ditutupi debu yang terbang dari jalan yang dilewati. sehingga pada saat itu, setiba di  Banda Aceh, rambut harus dicuci bersih dengan sampo bubuk yang cap yang membuat rambut bisa bersih kembali. Begitu sulitnya kondisi Aceh Selatan yang sering disebut dengan Aceh ketelatan saat itu.Â
Sulitnya kondisi perjalanan yang ditempuh dari Manggeng ke Banda Aceh dan sebaliknya dari Banda Aceh ke Manggeng, saat itu, berkonsekwensi pada terbatasnya  media atau bahan bacaan di daerah itu. Kalau ingin mencari buku di toko buku, saat itu tidak ada toko buku. Maka, apa yang membuat saya sangat bersyukur adalah kala itu di sekolah mulai ada buku-buku pustaka yang membantu saya. salah satu buku yang membantu dan memotivasi saya untuk belajar bahasa Inggris adalah buku The Train Robbery. Buku itu menjadi buku bacaan yang mendorong saya belajar bahasa Inggris di SMP. Buku itu  sebagai media belajar bahasa Inggris saat itu, saya pinjam di pustaka sekolah dan saya baca berkali-kali, hingga bisa memhami apa sisi cerita tentang perampokan kereta api itu. Tidak banyak buku bahasa Inggris yang saya bisa dapatkan di sekolah, kecuali buku paket bahasa Inggris yang tebal dan berwarna putih. Kedua buku itu menjadi modal dasar bagi saya untuk menguasai bahasa Inggris seperti sekarang.
Tentu, kondisi ketertinggalan Aceh Selatan saat itu, juga menjadi bukti bahwa pada saat itu betapa sulitnya mendapatkan buku bacaan di daerah itu di tahun-tahun 1970 an itu. Namun, minat baca saya pada saat itu termasuk tinggi. Padahal sebagai anak kampung, selama ini selalu saja dituding malasa membaca, tidak mau membaca atau tidak suka membaca. ya sangat berbeda. Saya sudah suka membaca sejak di SD. Saya ingat kala masih duduk di kelas III SD negeri 2 Manggeng saat itu, sangat termotivasi membaca buku, ketika guru wali kelas memberikan kesempatan meminjam buku dari lemari kelas saat itu. Saya masih teringat dengan buku-buku yang dipinjamkan saat itu. Salah satunya adalah Kuda bertanduk Rusa. Cerita yang saat itu menjadi bacaan yang isnpiratif bagi saya. Jadi, saya suka membaca dan dengan sangat gembira bisa membawa buku bacaan pulang. Apalagi, kala itu untuk membeli buku adalah sesuatu yang sangat tidak mungkin mampu membelinya. Bukan hanya karena tidak ada toko buku, tetapi juga tidak punya uang.
Tidak seperti sekarang, semuanya serba mudah. Buku ada di mana-mana. Walau banyak sekolah-sekolah di desa, karena kepala sekolahnya tidak mau membeli buku, takut robek oleh anak-anak, buku sebenarnya semakin mudah didapat. Namun, sayang, tingkat melek huruf dan budaya baca terasa semakin merosot. Penyebabnya apa? Pasti akan sangat banyak alasan atau peneyababnya yang kadangkala tidak masuk akal. Kita sering mendengar, tidak punya waktu untuk membaca, sementara untuk ngobrol, bisa lebih dari satu jam. Kita sering mendengar alasan, tidak ada buku atau bacaan, padahal perpustakaan sekolah sering menjadi gudang buku dan tidak mau disentuh. Jadi banyak sekali alsan yang membuat kita tidak membaca. Apalagi orang tua, alasannya sudah tidak bisa membaca, karena mata sudah tidak bisa melihat dengan jelas. Sesunggunya, kita memang sudah semakin malasa membaca dan semakin suka membac pesan-pesan singkat seperti SMS di handphone, atau membaca status di FB maupun di instagram. Sehingga dengan semakin seringnya membaca pesan-pesan singkat, pemahaman pun menjadi serba singkat. Itulah salah satu realitas bacaan kita.
Andai saja, masyarakat kita mau membaca sampai tuntas, buku-buku yang saat ini semakin banyak dijual di toko-toko buku, atau yang disediakan di perpustakaan-perusptakaan, maka dayan baca kita pun akan sangat meningkat. Kemampuan literasi kita bisa lebih tinggi. Namun, apa daya, semua menjadi sangat dipengaruhi oelh banyak fakator dan kondisi. Saya pun membayangkan, anda anak-anak kita sekarang mau membaca dengan sungguh-sunggu dan sempurna, maka daya tari bacaan seperti the Train Robbery yang menginspirasi saya itu, bisa menjadi pendorong untuk selalu membaca. Kini, buku the train robbery itu pun entah dimana. Adakah yang masih punya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H