[caption caption="Pelampung kehidupan"][/caption]
Langit di pantai Ule Lheu, Banda Aceh mulai tampak gelap tertutup mendung. Pertanda akan turun hujan. Matahari pun seperti enggan menampakkan wajah. Padahal, waktu saat itu sudah pukul 11 pagi. Anak-anak masih banyak berenang di pantai yang sudah dipagari dengan bebatuan besar usai bencana tsunami, yang dibangung dengan dana yang bersunber dari dana yag dikelola oleh Badan Rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh itu. Pantai ini kini menjadi tempat yang aman bagi anak-anak untuk bisa berenang dan mandi di air asin, atau air laut.
Di antara banyak pengunjung yang datang untuk menikmati pantai dan mandi-mandi atau berenang, seorang perempuan setengah baya, berdiri di bawah pohon cemara, sambil menawarkan pelampung kepada anak-anak yang mau mandi dan berenang di pantai itu. Perempuan itu adalah petrempuan yang setiap hari Sabtu dan Minggu berada di tempat itu melakukan akvitas ekonominya dengan menyewakan pelampung - pelampung berwarna warni itu. Dengan tenang ia melayani anak-anak yang meminta pelampung untuk berenang di pantai ang sudah dipagari batu- batu besar itu. Sesekali ia duduk termenung di bawah pohon cemara yang mengering itu. Habis bermenung, ia kadankala menumpang dagunya dengan tangannya, tampak matanya seperti menatap kosong. Sekali-kali ia menusap wajahnya dengan kedua tangannya, sambil menanti ada anaknya yang akan menyewa atau mengembalikan pelampungnya. Di raut wajahnya, terpancar kalau ia mempunyai masalah atau menanggung beban hidup yang berat yang membebani hidupnya.
[caption caption="Pengunjung yang sedikit, rezeki pun terjepit"]
Aku yang sedang duduk di kursi yang letaknya tidak jauh dari tempat perempuan itu menyewakan pelampung mencoba membangun komunikasi. Ya, sambil menunggu kedua anaku Nayla dan Aqila Azalea yang sedang menikmati kegemarannya berenang dan mandi di laut itu. Aku mulai bertanya-tanya tentang aktivitasnya menyewakan pelampung itu. Aku bertanya padanya, Pertanyaan ku yang pertama adalah “ Bu, berapa banyak ibu dapat uang dalam satu hari dari kegiatan menyewakan pelampung ini?”. Ia menjawab, tidak tentu pak. Tergantung pada banyak atau tidaknya pengunjung. Biasanya kalau dahulu, saat banyak orang datang mandi dan berenang ke sini, kita bisa dapat uang hingga Rp 400.000 atau bahkan pernah dapat Rp 500.000,-. Kalau sekarang, tidak lagi pak. Karena orang sudah kurang yang datang. Jadi, kalau pun dapat, paling banyak Rp 300.000 sehari. Bahkan lebih sedikit lagi, yakni hanya sekitar Rp 200.000,- pak. Kegiatan ini pun saya lakukan setiap hari Sabtu dan Minggu saja. Lalu, kalau hari lainnya? Ibu kerja apa? Saya kerjakan apa saja pak, begitu jawabnya. Terkadang, kalau ada yang mengupahi saya untuk menggosok pakaian, ya saya menggosok. Tetapi saya juga sering membuat sapu lidi. Itu juga bukan pekerjaan tetap, karena tidak ada bahan baku, lidi yang bisa saya dapatkan.
Lho, ibu tinggal dimana? Tanya saya lagi. Dia mengatakan dekat dengan pantai Ule Lheu ini, tapi tidak ada lagi pohon kelapa, karena sudah habis dihempas ombak besar tsunami saat itu. Jadi kalau pun saya menekuni usaha itu, saya kesulitas mendapatkan lidi, juga sulit mencari pembeli. Maka, setiap hari Sabtu dan Minggu saya naik sepeda ke tempat ini untuk menyewakan pelampung-pelampung ini.
Karena rasa ingin tahu saya yang masih tinggi, saya bertanya lagi pada perempuan penyewa pelampung itu. Berapa banyak pelampung yang ibu sewakan? Hmm, saya tidak ingat berapa jumlahnya, jawab sang perempuan penyewa pelampung. Wah, kata saya. Bagaimana ibu tidak menghitungnya? Apakah tidak ada yang hilang? Ia pun menjawab, ya tidak apa-apa dan tidak hilang.