Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Malulah Jadi Plagiator

21 Agustus 2015   08:23 Diperbarui: 21 Agustus 2015   08:23 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Oleh Tabrani Yunis

Dalam dua hari ini, aku menemukan dua fakta menarik dari dua tulisan yang aku baca. Tidak perlu aku sebutkan apa judul kedua tulisan tersebut. Juga aku tidak perlu menuliskan nama penulis yang memuat dua tulisan tersebut, karena ketika aku menulis judul tulisan tersebut, akan tidak enak rasanya. Ya, sebagai orang timur, kita suka basa basi dan merasa serba tidak enak. Padahal itu salah. Apalagi kalau aku menyebut nama penulisnya. Pasti akan sangat memalukan. Namun, aku ingin menyatakan sedikit saja apa yang terjadi. pada tanggal 18 Agustus 2015, aku membaca  tulisan yang dibagi ( share)  lewat email oleh mbak Dhita Puti Sarasvati. Ia biasanya suka membagi informasi yang ia baca dimedia, lalu ia share. Tulisan dari Kompas cetak itu aku baca, karena menyangkut dengan pendidikan yang transformatif. Tulisan itu bukan tulisannya mbak Dhita, tetapi dia hanya share dari Kompas. Namun, apa yang mengganjal di pikiranku adalah ketika aku membuka Kompasiana. Aku menemukan sebuah tulisan yang sama. Penulisnya adalah warga kampung Kompasiana. Aku memerhatikan tulisan itu dengan seksama. Lalu, sebagai reaksinya, aku memberikan tanggapan alias respon. Aku sebutkan tulisan ini sama seperti yang aku baca dari email yang dikirimkan seorang teman yang namanya ada disebut di atas tadi. Namun, setelah itu, aku tidak melihat apa responnya. Dalam pikiranku, maaf sedikit agak nakal, jangan-jangan ini adalah tulisan copas dari Kompas. Namun, aku tidak boleh menuduh. Malu kalau nanti aku salah.

Hari ini, dengan nama penulis yang sama. Maksudku, warga kampung yang sama, menulis sebuah tulisan yang judulnya panjang. Aku mencoba membuka tulisan tersebut, lalu menemukan sebuah pesan dari Redaksi Kompasiana bahwa tulisan tersebut dihapus karena melanggar etika kutipan. Aku pun menutup tulisan itu dan mendorong aku untuk menulis tulisan ini. Aku merasa sangat penting untuk menyampaikan hal semacam ini agar kita terhindar dari tindakan yang merugikan pihak lain, yakni merugikan penulis lain. Aku ingat dengan pameo, sesama bus kota, tidak boleh saling menyalip. nah, begitu juga halnya dengan dunia tulis menulis. Sebaiknya sesam penulis, tidak boleh ada saling menjiplak atau palgiat. Aku pun belum berani mengatakan bahwa tulisan itu memang hasil plagiat, karena aku menunggu rekan-rekan sekampung lainnya membaca tulisan tersebut. Walaupun demikian, aku ingin mengatakan bahwa bila memang tulisan itu plagiasi, maka sebaiknya segera dihapus dari postingan, karena akan membuat semakin banyak orang melihat wajah kita, ya wajah yang melakukan copas habis, lalu menulis nama sendiri. Itu bisa dituduh plagiator.

Nah, ketika menulis tulisan ini, aku pernah punya seorang teman yang pada tahun 1990 an, ia seorang sarjana lulusan sebuah universitas terkemuka di Indonesia. Ia saat itu sangat ingin bisa menulis di surat kabar, seperti yang aku juga sudah lakukan sejak tahun 1980 an. Apa yang ia lakukan, ia mengirimkan sebuah tulisan ke media lokal. Tulisan itu bukan hasil karyanya, tetapi hasil karya orang lain. lalu, setelah dimuat di surat kabar, muncullah reaksi dari seseorang yang menyatakan bahwa tulisan yang ada di media tersebut adalah tulisannya. Lalu, sang penulis yang sarjana ini merasa sangat malu. Jadi, memang seharusnya kita malu melakukan tindakan plagiasi. Akhirnya, ia terpaksa meminta maaf di surat kabar. jadi, benar-benar memalukan bukan? Jadi, kalau memang ingin jadi penulis terkenal, sebaiknya tidak melakukan plagiasi. Tentu tidak ada larangan untuk mengutip tulisan orang lain, asalkan tidak semuanya dan selalu harus menyebut sumbernya. dengan cara ini, kita akan terhindari dari tuduhan melakukan plagiasi. Jadi, sekali lagi, Malulah menjadi plagiator.

 

Salam Kreatif buat semua

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun