[caption caption="Perempuan adalah korban pertama dari penyebaran virus HIV-AIDS"][/caption]
Oleh Tabrani Yunis
Hari ini Rabu, 16 Desember 2015, media surat kabar lokal di Aceh, yakni harian Serambi Indonesia di halaman pertamanya memuat sebuah liputan khusus. Liputan khusus yang berjudul " Para isteri Tertular HIV/AIDS". Judul laporan khusus itu, mungkin bagi sebagian orang adalah judul yang mengejutkan, karena mereka mungkin berkata, bagaimana mungkin HIV?AIDS itu bisa menular dan menjalar ke Aceh yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Namun, bagi sebagian orang memandang laporan khusus itu sesuatu yang biasa saja, karena mungkin orang-orang tersebut selama ini memang sudah mengetahui banyak tentang penularan penyakit HIV/AIDS di Aceh.
Nah, harian Serambi Indonesia tersebut memaparkan bahwa sejak kasus HIV /AIDS pertama kali ditemukan di Bireun, Aceh tahun 2004, peningakatan kasus virus mematikan ini makin mencengangkan. Orang yang terinfeksi atau orang dengan HIV-AIDS ( ODHA) terus bertambah tiap tahunnya. Hingga medio November 2015 tercatat 388 kasus. Sebanyak 117 di antaranya telah meninggal. Lebih ironis lagi, sebagian penderira HIV-AIDS itu adalah ibu rumah tangga yang tanpa sadar tertular virus dari suaminya. Sebagiannya lagi anak-anak. Sekretaris Komisi Penanggualangan HIV-AIDS Provinsi Aceh dr Ormaia Nja’ Oemar MKes, Selasa (8/12) mengatakan, hingga kini Aceh masih termasuk golongan C. Aceh berada pada peringkat dengan kasus yang terbilang sedikit penderita HIV/AIDS dibanding sejumlah kota besar seperti Jakarta dan Papua.
Terlepas apakah itu bukan hal yang mengejutkan lagi, atau tidak tergolong sebagai golongan A atau B, meningkatnya jumlah penderita HIV-AIDS dan menularnya HIV-AIDS kepada para isteri di Aceh adalah hal yang harus segera mendapat perhatian, baik masyarakat, pemerintah daerag, maupun pemerintah pusat. Masalah penyebaran HIV-AIDS di Aceh yang terus meningkat harus menjadi perhatian pemerintah daerah. Apalagi bila melihat kasus penularan HIV-AIDS di Aceh saat ini adalah perempuan dan anak-anak. Sungguh ini adalah takdir yang sangat memilukan bagi mereka. Muncul dan berkembangnya virus HIV-AIDS terhadap para isteri dan anak-anak di Aceh saat ini, membuat naluri kita terpanggil untuk melihat persoalan penularan HIV-AIDS tersebut.Â
Ada sejumlah pertanyaan yang muncul di benak kita, ketika membaca liputan khusus tersebut. Apalagi ketika membaca judul berita tersebut dengan judul besarnya " Duh, Para Isteri tertular HIV" itu. Pertanyaan pertama adalah apakah ketika para isteri tertular HIV-AIDS tersebut disebabkan oleh kelalaian perempuan? Apakah ketika para isteri tertular virus HIV-AIDS tersebut, disebabkan oleh perempuan di Aceh selama ini sering melakukan prostitusi? Lalu, apakah ini sebagai sebuah kasus akibat rendahnya pengetahuan perempuan terhadap persoalan virus HIV-AIDS? Kemudian, apa peran pemerintah daerah untuk menghentikan berbiaknya penyakit ini di masyarakat? Apakah kasus ini dianggap belum mengkhawatirkan? Hm, banyak pertanyaan lain yang mengepul dari benak kita.
jadi, melihat posisi perempuan dalam kasus ini, kiranya perempuan dan anak dalam kasus penularan HIV-AIDS ini berada pada posisi yang sangat tidak menguntungkan. Mereka bukanlah pihak yang dengan sengaja menyebarkan virus HIV-AIDS kepada anak-anak tercinta mereka. Bukan pula mereka yang menularkan itu kepada suami mereka. Para perempuan ini, tidak boleh disalahkan begitu saja karena telah menyebarkan virus. Kita harus melihat bahwa mereka adalah korban pertama. Bisa jadi mereka tertular justru akibat dari perilaku buruk suami-suami yang kemungkinan besar telah melakukan hubungan sexual dengan perempuan yang mengidap HIV-AIDS, karena suka jajan sex di lura rumah. Lalu, kemudian mengadakan hubungan badan dengan isteri sendiri, lalu menyebarlah virus yang mematikan itu.  Bila ini benar, maka mereka adalah korban dari dosa para suami yang menularkan penyakit itu ke rahim ibu, lalu melahirkan anak-anak yang tertular virus HIV-AIDS tersebut. Dengan demikian, jelaslah bahwa perempuan ( para isteri) ini tidak selayaknya menanggung dosa dari tindakan suami mereka tersebut. Walau sebenarnya, kemungkinan lain ada, namun melihat kasus yang terjadi di Aceh saat ini, kita perlu merenungkannya.
Tentu saja, semua pihak harus menyikapi fenomena dan realitas ini dengan bijak. Dikatakan demikian, agar tidak ada konotasi negatif atau pandangan negatif dan buruk terhadap mereka, para isteri tersebut. Kita harus melihat mereka sebagai korban yang harus mendapat penangan secara serius. Berjangkitnya virus HIV-AIDS pada para isteri ini, bukanlah karena kesalahan mereka, tetapi karena suami atau faktor lain yang mungkin sudah terjadi. Oleh sebab itu, pemerintah daerah harus bekerja super ekstra untuk melakukan upaya-upaya pencehagan dan juga penanganan akan kemungkinan meningkatnya kasus HIV yang mendera peempuan dan anak. Kiranya, semua pihak harus benar-benar menjaga agar virus ini tidak terus menyebar dan menyerang lebih banyak orang lagi di Aceh kelak. Bagi Aceh, ( pemerintah Aceh) tentu saja mencuatnya kasus isteri tertular HIV-AIDS ini tidak dilihat dengan sebelah mata. Pemerintah pusat dan daerah harus lebih aktif dan pro aktif dalam pencehagannya dan juga pengobatan korban yang saat ini masih menderita. Mencegah itu jauh lebih baik dari pada pengobatan. Mari kita bangun kesadaram kolektif agar bisa membangun kesadaran semua orang di Aceh dan di Indonesia.
Â
Â
Â