Oleh Tabrani YunisBangsa yang maju adalah bangsa yang memiliki budaya literasi yang tinggi, berbudaya baca tinggi, seperti Jepang, Finlandia, Norwegia dan beberapa lainnya di Eropa dikenal memiliki budaya litarasi yang tinggi. Indikatornya adalah pola hidup, kemajuan ilmu, teknologi dan perilaku yang mereka bangun. Mereka sudah terlebih dahulu sadar bahwa kemajuan bangsa bisa dilakukan apabila kualitas sumber daya manusianya bagus. Bagusnya kualitas SDM, bukan didapat dengan gampang, juga bukan kodrat, akan tetapi dilewati dengan proses pembelajaran yang bekualitas, menempatkan kegiatan membaca sebagai sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi agar bisa mengubah nasib menjadi lebih baik.
Ya, tak dapat dipungkiri bahwa bagi masyarakat Negara-negara maju seperti ini, sadar bahwa membaca dan menulis itu kebutuhan hidup. Selalu diperlukan. Ketika membaca menjadi kebutuhan dan budaya, maka sangat wajarlah bila hasil penelitian di bidang literasi yang dilakukan oleh Central Connecticut State University di New Britain, Conn, Amerika Serikat, menempatkan lima Negara, Finlandia, Norwegia, Islandia, Denmark, dan Swedia pada posisi terbaik (The Jakarta Post, 12 Maret 2016). Sementara bangsa kita, Indonesia berada pada peringkat yang ke 60 dari 61 negara yang merupakan peringkat terendah. Inilah potret buruk kualitas bangsa Indonesia di pusaran global. Konon lagi kualitas di setiap daerah, pasti sangat rendah, karena semakin ke daerah, budaya baca semakin mati. Sangat menyedihkan. Padahal, bangsa kita yang mayoritas beragama Islam, harusnya punya budaya bacanya lebih tinggi dibandingkan mereka di barat. Dikatakan demikian, karena hanya orang Islam yang mendapat perintah dari Allah untuk “ beriqra”, ya membaca. Namun, mengapa masyarakat kita yang mayoritas Islam ini malas membaca, bahkan meninggalkan budaya baca dengan berbagai alasan?
Sejatinya, masyarakat kita memiliki budaya baca tinggi, karena hal ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan baca. Semakin tinggi budaya baca bangsa, maka semakin tinggi daya baca mereka. Artinya kemampuan memahami, menganalisis dan memberikan solusi akan sangat produktif. Tak dapat dipungkiri bahwa sebagai bangsa yang memiliki budaya literasi tinggi, masyarakatnya memiliki daya fikir dan daya cipta yang tinggi. Mereka bahkan kemudian mengukir kemajuan bangsa, menjadi bangsa-bangsa yang produktif dan makmur. Secara positif, bangsa- bangsa tersebut, sudah lebih dahulu sadar bahwa dengan banyak membaca, mereka bisa membangun peradaban bangsa yang mulia. Mereka menjadi lebih dahulu bangkit dari tidur. Sehingga, sebesar apapun kemajuan teknologi gadget, tidak banyak berpengaruh atau menurunkan budaya baca mereka. Berbeda dengan kita.
Posisi Indonesia masih pada posisi ke 60 dari 61 negara. Ya berada pada peringkat nomor dua dari bawah. Artinya, bila kita mengacu pada hasil penelitian itu, maka bisa terbaca dengan jelas bahwa budaya baca masyarakat kita masih tergolong sangat rendah. Mungkin, tidak masuk akal. Namun, itulah faktanya. Contoh lain adalah skor membaca para siswa kita di Indonesia dalam peringat PISA, pada tahun 2012 berada pada posisi 64 dari 65 negara. Pada tahun 2015 Indonesia juga berada di papan bawah, pada posisi 69 dari 73 negara. Juga di peringkat kedua dari bawah, bukan? Mengamati indeks pendidikan nasional kita dalam laporan OECD, Indonesia mendapatkan nilai membaca 402, matematika 371, dan ilmu pengetahuan alam 383. (Program for International Student Assessment)
Sangat banyak fakta ironis menyelimuti bangsa kita. Ini semua karena kita tidak membaca seperti mereka. Sebagai contoh, adalah ujian nasional (UN) yang ramai-ramai dihujat dan dijadikan momok, karena kelemahan masyarakat kita yang miskin dengan kualitas literasi. Semua orang menyalahkan UN, karena dianggap banyak kecurangan dalam pelaksanaannya. Orang cendrung berbuat curang, karena UN dianggap momok, karena letak kesalahannya dinyatakan pada UN. Padahal, kalau budaya baca dan daya baca masyarakat kita tinggi, maka seberat apa pun soal UN, tidak menjadi masalah. Sayangnya, kita lebih cendrung menyalahkan UN dan kebijakan UN, ketimbang melihat kesalahan dan sikap kita yang mengabaikan membaca, meninggalkan budaya membaca.
Kita harus bangkit segera dari tidur panjang, harus keluar dari zona aman selama ini. Juga harus berani mengakui bahwa rendahnya rangking budaya baca masyarakat Indonesia di tengah-tengah kemajuan bangsa lain, karena kita malas membaca atau kurang membaca dan tidak menjadi kebutuhan hidup. Semua berdampak pada rendahnya kualitas pendidikan kita. Oleh sebab itu, pemerintah sebagai pihak pemegang tanggung jawab utama penyelenggara pendidikan harus serius membangun kembali budaya baca, menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk meningkatkan kemampuan dan budaya baca masyarakat Indonesia. Misalnya, penyediaan bacaan yang menarik, seperti buku-buku, majalah, surat kabar dan lainnya. Ini sangat penting dilakukan, karena bila masyarakat kita rajin membaca, tinggi daya bacanya, maka kemampuan masyarakat Indonesia akan meningkat dan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Mesti Banyak Media Literasi
Selain menyediakan bahan bacaan seperti diungkapkan di atas, agar masyarakat Indonesia memiliki semangat dan kemauan membaca, menganalisis, dan mencari solusi dan lebih produktif dalam berekspresi, baik lisan maupun tulisan, maka diperlukan banyak media, sebagai media ekspresi lisan, seperti kegiatan seni, teater dan sebagainya, juga lewat penyediaan media cetak yang dapat menampung aspirasi serta kreasi masyarakat, seperti media surat kabar, majalah dan bahkan media elektronik. Idealnya, semakin banyak media cetak dan elektronik yang hidup dan bertahan di tanah air untuk berlatih, menyalurkan aspirasi dan kreasi masyarakat, maka tingkat produktivitas masyarakat akan tinggi.
Sayangnya, media cetak yang harusnya hadir lebih banyak, namun satu- persatu mati sejalan dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin cepat dan murah. Di Aceh media cetak lokal, hidupnya dalam dilema. kecuali media cetak yang memiliki pengaruh dan daya dukung kuat seperti Serambi Indonesia. Sementara yang lain, hidupnya bagai kerakap tumbuh di batu. Hampir semua media cetak yang terbit dan beredar di Aceh saat ini, sulit bertahan hidup. Ada yang hanya terbit beberapa kali, lalu mati. Kalau pun masih terbit, oplah dan sirkulasinya sangat terbatas. Tidak ubahnya bagai orang yang hanya untuk bertahan hidup, termasuk majalah POTRET dan majalah Anak Cerdas, dua media cetak yang terbit di Aceh, sejak pertama terbit di tahun 2003 untuk membangun gerakan literasi anak negeri yang berawal dari Aceh untuk nusantara. Alhamdulilah, dengan modal idealism dan ketekunan, hingga usia 14 tahun majalah POTRET masih terbit, walau merangkak, bergerak membangun gerakan literasi di kalangan perempuan, remaja dan bahkan anak-anak di tanah air.
Majalah POTRET bagai bernafas dalam lumpur, karena kesulitan mewujudkan makna sinergi dengan berbagai pihak, termasuk pihak pemerintah daerah. Perjalanan hidup majalah POTRET selama 14 tahun dan majalah Anak Cerdas yang kini masuk tahun ke lima, yang terseok-seok, karena miskin dukungan dari berbagai pihak, terbit tanpa iklan. Namun mengemban misi membangun gerakan literasi anak negeri. Perjalanan hidup POTRET menjadi sebuah catatan sejarah yang ironis. Tentu saja, melihat realitas rendahnya budaya literasi di negeri ini adalah sebuah cerita duka. Lebih menyedihkan lagi, upaya membangun literasi oleh pemerintah masih berkubang mentalitas proyek yang hanya mengejar keuntungan sesaat pelaku, seperti kasus proyek buku PAUD dan buku budi pekerti yang berselimak masalah hingga kini. Ini memang ironi literasi anak negeri.