Sebuah Catatan Perjalanan, bagian Pertama
Malam ini, ketika malam semakin larut dan pekat, pikiranku melayang-layang ke kota Palembang, Sumatera Selatan. Entah magnit apa yang secara tiba-tiba membawa pikiranku melayang-layang dan berjalan mengitari kota Palembang. Pikiran itu membayangkanku ketika pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan 106 yang terbang dari Bandara Soekarno-Hatta, CGK mendekati bandara Sultan Mahmud badarussin II. Kala pesawat semakin dekat dengan bandara itu, saya mengamati kota Palembang dari udara dengan ketinggian yang sudah rendah itu.Â
Aku melihat Palembang dengan langgam warna-warni. Maksudku, ada kesan keragaman suku yang mendiami provinsi yang memiliki jembatan bersejarah dengan sebutan jembatan Ampera tersebut. Bermacam ragam pula kesan yang muncul dalam pikiran. Salah satu  kesan yang muncul adalah tentang sawit. Ya, aku menyebutnya kalau dulu disebut Palembang sebagai kota Palem bang, kini sudah bisa disebut dengan sebutan Kota Sawit Bang. Pikiran ini muncul, karena aku menyaksikan banyaknya tanaman sawit di kota itu, hingga di dekat dan di dalam bandara ada tanaman sawit. Hmm, sudahlah, Aku lebih baik membiarkan pikiranku bekerja menelaah Palembang itu.
Tak lama berselang, pesawat yang ku tumpangi mendarat  dengan mulus di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, bandara internasional, pada pukul 12.30. Perjalanan yang ditempuh dalam waktu yang sangat singkat, selama lebih kurang 45 menit, setelah tinggal landas di bandara Soekarno -hatta, Banten. Pesawat landing dan  kami tiba dan turun menancapkan kaki di bumi Sriwijaya, Palembang, Sumatera Selatan pada tanggal 20 April 2016 yang lalu itu.
Sambil turun mengambil bagasi, aku yang datang bersama 21 anggota Walhi dari Banda Aceh keluar bandara menunggu jemputan panitia. Katanya ada tiga bus yang datang menjemput peserta yang datang untuk mengikuti PNLH XII yang berlangsung Wisma Atlit Palembang, mulai berlangsung pada tanggal 21 April 2016 hingga 27 April 2016. Lumayan lama mendunggu jemputan saat itu, hingga kami sempat merasakan ada yang tidak beres dengan perut, karena perut menunutut untuk diisi. Ya, jalan terbaik adalah mengisi bahan makanan dahulu. Aku mengajak seorang teman untuk makan siang dan kami masuk ke warung Padang. Wajar saja, karena selera kami adalah selera nasi Padang.
Nah, ketika makan siang usai, jemputan pun datang, kami dibawa dengan satu bus ke luar dari Bandara, menuju Wisma atlit, Jakabaring. Keluar dari Bandara, sepanjang jalan tampak dipagar dengan seng warna putih dan les biru- merah bata, sebagai pembatas pembangunan rel LRT yang akan menghubungkan bandara dengan kota dan hingga ke wisma Atlet yang letaknya sekitar 17 kilo ke Jakabaring. Sementara dari bandara ke kota sekitar 10 km.
Sepanjang perjalanan menuju Jakabaring, mataku menatap setiap gerak kota ini, mulai dari bangunan, aktivitas masyarakatnya, hingga pada pembangunan monorel dan rawa-rawa. Kebetulan jalan yang dilewati adalah leat jalur luar kota. Sehingga dalam perjalanan itu yang tampak di mata adalah rawa-rawa yang kaya dengan ikan air tawarnya. Bukan hanya itu, banyak pula terlihat di pelupuk mata akan kehidupan yang terasa jauh dari kehidupan yang layak. Ada banyak rumah panggung yang di bawahnya dan sekelilingnya tergenang air. Ya,wajar saja, karena provinsi ini dikenal memiliki rawa-rawa yang sangat luas.
Bagiku, kota Palembang adalah kota yang belum pernah ku singgahi. Ya belum pernah sampai bermalam atau menginap di kota ini. Boleh dikatakan bahwa ini adalah perjalanan pertamaku yang bisa menikmati kota Palembang selama beberapa hari. Walau sebenarnya di tahun 1990- an ketika sering naik bis dari Banda Aceh ke Jakarta, pernah melintasi kota ini. Namun, sekali lagi aku belum pernah bisa berjalan dan menikmati kota Palembang. Ya baru kali ini.
Nah, karena ini adalah kali pertamaku ke Palembang, wajar saja kalau dalam pikiran terlintas lagi akan makanan khas kota ini. Ya, tentu saja empek-empek, yang di kota lain, seperti di Aceh sangat dikenak dengan empek-empek Palembang itu. Aku pun berselera untuk bisa sempat menikmati empek-empek Palembang tersebut. Aku bahkan ingin makan kapal selam. Dahsyat bukan? Ya memang dahsyat. Bagaimana bisa memakan kapal selam? Namun, di kota Palembang ini kita bisa makan kapal selam. Tidak percaya? Silakan datang ke Palembang.
Sayangnya, ketika keinginan untuk bisa menikmati empek-empek Palembang, aku tidak menemukan satu pun orang yang menjual empek-empek Palembang. Benar lho. Kalau tidak percaya, silakan cari dimana ada warung yang menjual empek-empek Palembang. Pasti anda tidak akan menemukan satu pun. Kalau orang menjual empek-empek, ya banyak. Namun, empek-empek Palembang itu tidak ada di Palembang. Lalu, empek-empek yang ada di Palembang itu, empek-empek apa?