[caption caption="Dengarlah aspirasi anak"][/caption]Sore ini, sambil menyeruput segelas kopi Arabica Gayo dengan varian nama black coffee, di sebuah warung kopi di jalan Prof. Ali Hasyimi, Lamteh, Banda Aceh, tiba-tiba dalam pikiran saya bergelayut ungkapan menarik dari seorang anak SMA Negeri 4 Banda Aceh. Saya teringat dengan kata-kata Adelia Nurfani bersama Mursal. Hmm, berkali-kali kata itu melayang-layang dan bergelayut di pikiran. Aku pun melakukan flash back, sebut sajalah rewind.
Ya, hari itu tanggal 22 Desember 2015. Tanggal itu biasanya diperingati sebagai hari ibu. Banyak orang yang melakukan selebrasi, merayakan hari ibu di mana-mana di Indonesia, termasuk di Aceh. Namun, pada hari itu, Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, sebagai sebuah LSM yang bekerja untuk bidang pemberdayaan dan penguatan perempuan, remaja dan anak di Aceh, Â menerbitkan majalah POTRET, majalah Anak Cerdas dan www.potret-online.com melakukan sebuah aktivitas yang bernuansa global. CCDE bekerja sama dengan ECPAT Indonesia mengadakan sosialisasi tentang tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable development Goals) yang disingkat dengan SDGs.
Ketika melakukan kegiatan brainstorming yang dilakukan dengan cara tanya jawab interaktif antara para remaja dan peserta dengan guru dan nara sumber, ada banyak persoalan remaja yang berhasil diidentifikasi oleh anak-anak dalam kaitannya dengan pembangunan, termasuk apa yang sedang disosialisasikan dengan agenda tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals) tersebut. Terkait dengan tujuan pertama dari SDGs, yakni no poverty dan no hunger.
Ya persoalan kemiskinan dan kelaparan, menurut para remaja ini sesungguhnya di negeri ini masih sangat banyak anak yang menderita karena hidup miskin dan terpaksa hidup lapar, karena kebobrokan akhlak para penguasa yang melakukan korupsi dan menghambur-hamburkan uang Negara dan sebagainya. Begitu pula janji atau ikrar dari SDG yang mendorong adanya pendidikan yang berkualitas, menuru mereka saat ini pendidikan di Indonesia dan di banyak negera yang masih tergolong belum maju, anak-anak masih dijadikan sebagai kelinci percobaan. Kurikulum pendidikan pun terasa sangat memberatkan mereka.
[caption caption="Libatkan anak dalam proses pembangunan"]
Benar juga kan? Mungkin inilah salah satu alasan mengapa Adelia Nurfani dan Mursal siswa SMA Negeri 4 Banda Aceh yang membawa acara itu menyampaikan bahwa remaja saat ini sebenarnya dihadapkan pada kondisi buruk dan berat. Keberadaan para remaja sesungguhnya janganlah menjadi generasi penerus, tetapi generasi pelurus. Alasannya kalau generasi penerus, maka tugas kita adalah meneruskan apa yang sudah ada. Generasi penerus akan meneruskan dan mendapat warisan dengan segala bentuk perilaku buruk.
Nah, sebagai generasi penerus, remaja akan melanjutkan perilaku buruk pejabat, birokrat seperti korupsi dan lainnya. Oleh sebab itu, para remaja harus memposisikan diri sebagai generasi pelurus. Artinya, di pundak generasi muda atau para remaja ada beban dan tanggung jawab untuk meluruskan kembali perilaku buruk yang sedang menggerogoti bangsa ini. Beban dan tanggung jawab ini menjadi sangat berat bagi anak-anak di masa depan, bila ingin membawa bangsa ini menjadi lebih baik ke depan.
Sangat masuk akal bukan? Ya, tentu saja. Padahal mereka masih tergolong anak-anak, namun sudah berpikir realitas dan berorientasi ke masa depan. Sayangnya pemikiran dan aspirasi orang muda yang masih tergolong anak-anak seringkali tidak dijadikan sebagai referensi dalam pembangunan. Seringkali kita mengabaikan partisipasi anak dalam berbagai sektor kehidupan, termasuk dalam merancang pembangunan. Posisi anak selalu menjadi objek pembangunan, bukan sebagai subjek. Padahal, sesungguhnya anak-anak, berapa pun usianya, mereka punya kebutuhan dalam pembangunan. Mereka punya masalah dan juga punya harapan yang mereka ingin capai saat in dan juga di masa depan. Terbukti, ketika sesi identifikasi persoalan yang dialami atau dihadpi anak-anak dan remaja, para peserta yang jumlhanya lebih 25 anak usia 15 tahun yang masih berstatus siswa SMA  kelas I dan dua dari 10 SMA se kota Banda Aceh, memaparkan banyak sekali persoalan remaja yang juga harus diluruskan ke depan. Apalagi kalau dikaitkan dengan pencapaian tujuan sustainable development goals (SDGs)  tersebut.
[caption caption="Selayaknya anak didengar"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H