Oleh Tabrani Yunis
Tadi malam saya posting flyer  Acara " Aceh Bicara" di Televisi Republik Indonesia ( TVRI) stasiun Banda Aceh yang diselenggarakan pada hari Rabu, 13 September 2023 di medsos. Saya mendapat tanggapan dari beberapa teman, satu di antaranya seorang teman yang sudah lama adalah Mustafa Ismail yang berdomisili di Jakarta. Flyer acara yang berdurasi satu jam, dari pukul 16.00 - 17.00 WIB  berlangsung  di ruang studio utama TVRI itu bertajuk "
Mencegah Penyalahgunaan Narkoba di Kalangan Pelajar".
Ketika melihat atau membaca judul itu, bung Mustafa Ismail pun bertanya dalam sebuah pertanyaan sederhana. "
Banyak kasus penyalahgunaan narkoba di Aceh?". Pertanyaan itu tidak saya jawab langsung, tapi saya biarkan, hingga terjawab ketika mengikuti acara yang
menghadirkan 3 narasumber. Pasti jawaban yang sahih atau valid adalah ketika dijawab oleh yang membidangi masalah itu. Ya, ada bu Susi Erlita, SKM, sebagai Pj. Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat BNN Banda Aceh dengan panduan pembawa acara Tria Azalia  yang terus mengarah dsn menggali. Paling tidak, beliau memiliki data tentang pelajar yang terjerumus ke dunia narkoba di wilayah kota Banda Aceh. Â
Namun demikian, kita bisa simak gambaran secara umum di Aceh seperti yang disuarakan oleh KBRN, Banda Aceh. Kepala BNN Kota Banda Aceh Masduki, SH, MH mengatakan, berdasarkan data yang tersedia, dapat diketahui bahwa angka prevalensi penyalahgunaan narkoba di Provinsi Aceh mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Â "Pada tahun 2019, angka prevalensi penyalahgunaan narkoba setahun pakai di Provinsi Aceh sebesar 56.192 orang atau 1,30%, dan pada tahun 2021 meningkat menjadi 56.276 orang atau 1,45 persen," kata Masduki kepada wartawan di Banda Aceh, Jumat (7/1/2023)
Nah, bila kita baca dan pelajari sejumlah berita dan data sebagai referensi, kita menemukan fakta trend pengguna yang terus meningkat dari tahun ke tahun.  Apalagi ketika patologi sosial semakin tumbuh subur, kepedulian masyarakat semakin rendah dan malah apatis, kohesi sosial yang semakin renggang, bahkan kekuatan ikatan keluarga pun kian rapuh, para remaja yang masih labil dalam rawatan keluarga yang kualitas rusak, maka angka pengguna narkoba akan terus meningkat di kalangan pelajar kita. Ditambah lagi pula semakin gencarnya aksi para pelaku pengedar narkoba di Aceh sebagaimana diberitakan  ANTARA - bahwa Polresta Banda Aceh mengungkap 107 Tindak Pidana Narkotika dengan 143 orang tersangka sejak Januari - September 2023. Barang bukti yang diamankan berupa 10,5 kilogram sabu, 28,3 kilogram ganja dan setengah hekatre ladang ganja. (Aprizal Rachmad/Sandy Arizona/Hilary Pasulu). Mengerikan, bukan?
Ya, jelas kondisi ini sangat mengerikan. Apalagi bila kita membaca media yang ada dan memberitakan tentang kasus narkoba, kita tidak lagi tercengang-cengang dan malah menjadi berita biasa, seakan bukan masalah besar yang tengah mengancam bangsa sendiri. Ini juga kondisi yang membahayakan bagi generasi kini dan generasi yang akan datang. Karena dalam konteks kebangsaan, bangsa Indonesia yang katanya tengah menikmati bonus demografi, memiliki bonus busuk, dan rusak. Sehingga impian menjadikan Indonesia mencapai masa keemasan kala merayakan 100 tahun Indonesia, bakal terganjal. Bahkan, ancaman narkoba bisa membuat bangsa ini lumpuh dan mudah dikuasai oleh bangsa lain, tanpa harus menggunakan senjata-senjata canggih.
Oleh sebab itu, semua elemen bangsa, harus bangkit dan berusaha mencegah agar kondisi tidak semakin memburuk dari tahun ke tahun. Semua lembaga pendidikan  yang kita kenal sebagai tripusat pendidikan harus membangun kembali tali asabat, memperekat kembali kohesi sosial, kontrol dan sinergi dalam menyiapkan generasi bangsa yang berkualitas ke depan. Keluarga sebagai lembaga pendidikan yang pertama dan utama harus mengambil peran di garda depan. Sayangnya, saat ini semakin banyak keluarga yang berantakan dan melahirkan anak-anak yang hidup diombang ambing oleh persoalan ketidakharmonisan rumah tangga. Bukan hanya itu, dalam realitas sehari-hari, hubungan keluarga dengan sekolah seakan sebatas mengantar dan menyerahkan anak ke sekolah dan diserahkan bulat -bulat pembelajaran kepada guru. Padahal, guru bukanlah pendidik pertama dan utama. Oleh sebab itu, dalam acara " Aceh Bicara" kemarin, narasumber yang berasal dari kalangan sekolah  Khairurazi S.Pd, M.Pd  yang menjabat sebagai Kepala SMA Negeri 6 Banda Aceh, merasa sangat kecewa terhadap banyaknya orang tua yang berperilaku seperti disebutkan di atas.
Jadi ada kecenderungan kebanyakan orang tua, menyerahkan tanggung jawab pendidikan kepada guru atau pihak sekolah, dan tanggung jawab orangtua hanya sebatas sudah membayar biaya sekolah. Itu pulalah yang menjadi keprihatinan semua orang dan ini memiliki dampak buruk bagi  proses pendidikan. Idealnya, hubungan antara keluarga ( orang tua) dengan sekolah (guru) berjalan sinergis, sehingga terbangun kontrol yang harmonis antara Orangtua dan sekolah. Realitas di lapangan, bisa kita temukan fakta anak-anak yang dari rumah berangkat ke sekolah, tetapi tidak langsung ke sekolah. Mereka singgah di tempat -tempat titik kumpul pelajar yang harus merokok dahulu sebelum ke sekolah. Keberadaan mereka di tempat ini bisa jadi tidak diketahui oleh orang tua dan orang tua menganggap anak mereka sudah belajar di sekolah.
Celakanya pula ketika para pelajar tersebut berhenti di kios-kios atau warung membeli rokok, pihak penjual rokok pun tidak mau tahu, yang penting rokok yang dijual banyak laku. Sementara masyarakat umum, lebih bersikap apatis terhadap aksi para pelajar yang membolos dan merokok di tempat umum. Jadi wajar pula bila jumlah perokok usia dini, semakin hari semakin meningkat.
Meningkatnya jumlah pelajar yang merokok, Â lemahnya kontrol sosial, serta banyaknya keluarga yang broken home, sangat membuka peluang para pelajar memilih jalan untuk menjamah narkoba serta diseret ke dunia narkoba untuk kepentingan bisnis yang merusak tatanan kehidupan pribadi dan masyarakat, serta bangsa.
Kondisi semacam ini tidak boleh dibiarkan berlangsung atau terjadi, tanpa dilakukan upaya-upaya pencegahan agar para pelajar tidak menjamah atau terjebak dalam lingkaran setan narkoba semakin bertambah. Bertambahnya jumlah penyintas narkoba di kalangan pelajar yang berusia produktif akan sangat mengganggu pemerintah dan bangsa ini menjadi bangsa yang besar, maju dan beradab, namun sebaliknya akan menjadi bangsa yang lemah dan pecundang.
Tentu saja, pihak pemerintah, seperti BNN dan BNP termasuk sekolah telah banyak melakukan upaya pencegahan, agar para pelajar tidak menjamah narkoba. Namun, bila kita amati, upaya-upaya yang dilakukan masih begitu konvensional, kurang memanfaatkan kemajuan teknologi digital, kurang kreatif, tidak innovatif serta tidak pula partisipatif. Padahal di era ini, sangat diperlukan sikap dan tindakan kreatif, innovatif, partisipatif dan kolaboratif dalam melakukan upaya-upaya pencegahan.