Oleh Tabrani Yunis
Lelaki itu terus mengitari waktu, berjalan mengikuti arah yang tak berubah.
Saban hari langkahnya berat memikul tubuh kecil mungil melekat di bahu, sebuah tas warna hitam bergantung di punggung menyertai perjalanan memelas iba. Lelaki yang menjemput rupiah dari tangan pemberi sedekah, menempuh perjalanan panjang di alur yang tak pernah berubah.
Anaknya yang kecil mungil terlelap dalam pangkuan, pulas menempuh perjalanan memghirup aroma keringat yang mengalir dari tubuh lelaki yang meletakan buah hati di pangkuan dan gendongan. Lelaki itu melumuri kulit mungil anaknya dengan sinar matahari. Kulit kuning langsat menghitam lembam.
Lelaki itu terus menyekap sikecil mungil mengukir perjalanan menangkap iba orang-orang yang lalu lalang.Ada banyak lembaran rupiah warna hijau merah direpahnya dari orang-orang merasa iba dan kasihan.Â
Lelaki itu tak akan pernah melepaskan anak mungil itu dari pangkuan dan gendongan. Walau beban di badan semakin berat. Anak mungil itu adalah mata pancing yang mendatangkan lembaran-lembaran rupiah
Lelaki itu tak peduli pada masa emas si mungil yang mungkin bisa diukir, di kepalanya bersemayam harapan mengalirnya rezeki dari orang-orang yang kasihan. Lelaki itu tak peduli akan arti eksploitasi.Â
Tak pula mau mengerti bila si mungil ingin menikmati kemerdekaan diri, ia terkapar mengikuti perjalanan lelaki yang mengitari hari dengan lelaki kecil meraup rezeki. Seperti apa masa depan si mungil nanti, mungkin tak ada yang bisa memahami
Menghentikan lelaki itu melakukan eksploitasi pada anak lelaki yang melewati panasnya matahari. Siapa yang mampu peduli? Lelaki itu terus menggendong hari, meraup empati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H