Oleh Tabrani Yunis
Pagi itu,  menjelang hari suci matahari dikerumuni mendung hitam pekat. Awan-awan biru berubah kelabu. Wajah-wajah cerah ceria berbalut duka.  pelupuk -pelupuk mata dihempas genangan air mata. Duka kita terlalu besar, kesedihan menusuk -nusuk rongga sanubari,  Liang-liang nurani terasa  menggelagar rasa iba.  Langit pun ikut berduka, seperti kita. Ibu kita telah pulang dan tak pernah kembali lagi.
Pagi itu,  di belahan bumi sana, hujan rintik bergelayut di panas terik, katanya ada pertanda yang pulang abadi.  Akan ada  duka menyambar-nyambar  ruang kebahagiaan kita.  Ya, di pagi menjelang lebaran itu, ibu kita  tak ada lagi kata-kata, tak lagi berbagi senyuman, tak ada energi untuk bergerak, ibu kita pulang bersama bulan suci, menumpang  kapal Ramadan menuju hari fitri.
Ibu kita telah pulang, menuju perjalanan pejalanan abadi. Perjalanan ke tempat semua akan kembali. Sematkanlah ia selaksa doa, payungi ibu dengan kasih Ilahi. Bukalah kabut hitam yang menyelimuti jiwa. Nyalakan doa buat ibu kita. Semoga Allah membangun rumah yang indah dan megah, tempat ibu kita bersemayam. Innalilahi wa inna ilaihi rajiun. Selamat jalan ibu. Selamat jalan Ibu bangsa. Kami semua akan menyusuli ibu. Selamat jalan ibu. Izinkan kami berduka dan berlinang air mata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H