Â
Oleh Tabrani YunisÂ
Apa komentara anda bila ada yang menyebut  "Literasi kependudukan". Terasa aneh, atau seperti sedang berada dalam fenomena ikut-ikutan, karena dalam dunia pendidikan kita sedang rama-ramai berbicara dan menggerakan literasi? Bisa jadi, ada yang beranggapan demikian, bisa pula ada yang berkata, literasi kependudukan adalah hal yang memang harus ada dan harus menjadi perhatian dan pembicaraan semua orang.
Tidak ada salahnya, menyebut literasi kependudukan, karena kedua hal tersebut merupakan hal yang saling kait mengkait. Mengapa demikian? Dikatakan demikian, karena literasi sebagai kemampuan untuk membaca, memahami, menganalisis dan mencari solusi, mereka kemampuan dasar yang harus dimiliki setiap orang, masih menjadi masalah besar yang menyelimuti bangsa ini.Â
Sebagaimana kita ketahui bahwa kemampuan literasi bangsa kita, Indonesia saat ini masih sangat rendah dan kalah bersaing dengan masyarakat di Negara-negara lain di dunia, bahkan kita masih kalah dibandingkan dengan Negara tetangga, Malaysia. Memang belum ada data terbaru yang dikeluarkan pada akhir tahun 2018, namun data tahun sebelumnya menampatkan posisi kemampuan dan budaya literasi bangsa kita yang masih terjungkal.
Satria Dharma, tokoh literasi nasional, dalam seminar  Jogja Expo beberapa tahun lalu, menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian program for Internation student assessment (PISA) menyebutkan , budaya literasi masyarakat Indonesia berada pada posisi  64 dari 65 negara. Kondisi serupa juga ditemukan dalam penelitian-penelitian lain. Kondisi itu bisa jadi semakin memburuk sejalan dengan perubahan perilaku generasi milenial yang semakin memburuk.Â
Bukti emperis dari pelaksanaan berbagai ujian atau tes di lembaga pendidikan kita dan masyarakat, seperti tes CPNS yang disaring lewat CAT, memperlihatkan hasil yang memprihatinkan kita. Data emperis ini menjadi salah satu indikator rendahnya budaya membaca di kalangan masyarakat sekolah dan luar sekolah.
Nah, ketika minat dan kemampuan membaca, mengindentifikasi masalah, analisis dan mencari solusi yang rendah, maka pemahaman dan kemampuan analisis terhadap hal-hal yang sedang berkembang juga rendah.
Masyarakat kita pun sebenarnya sudah mahfum kalau minat membaca masyarakat kita hingga kini masih rendah dan bahkan akibat kemajuan teknologi digital akhir-akhir ini, minat membaca dan day abaca masyarakat kita turun ke titik nadir, sehingga tingkat kepercayaan terhadap berita bohong atau hoaks tumbuh subur.Â
Dengan kondisi seperti itu, wajar pula bila narasi dan rekognisi  tentang kependudukan sangat kurang yang bermuara pada rendahnya kepedulian masyarakat terhadap persoalan kependudukan. Itu pula ungkapan yang diucapkan oleh Dian Erlita TR, Begitu kata Bu Dian Elita TR, Kasubid Kerjasama Pendidikan Kependudukan (KPK) BKKBN Aceh dalam perjalanan dari Calang ke Krueng Sabe, Aceh Jaya untuk membuka dan membentu Pojok Baca Kependudukan di Gampong ( Kampung) Paya Seumantok, Krueng Sabe pada Senin sore 29 April 2019.
Pernyataan Bu Dian tentang fenomena dan realitas di tengah masyarakat kita terhadap isu atau masalah Kependudukan di negeri ini. Ya, isu Kependudukan selama ini tidak pernah menjadi isu yang sexy. Tidak menjadi bahan pembicaraan yang menarik dan tidak dianggap penting. Padahal kependudukan merupakan masalah yang tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan persoalan yang saling berhubungan dengan berbagai sektor kehidupan kita. Penduduk adalah sentral pembangunan, karena pembangunan itu ada, karena ada penduduk. Semakin besar jumlah penduduk, maka semakin besar masalah kependudukan. Tidak akan ada pembangun di sebuah tempat atau desa, bila tidak ada penduduk di tempat tersebut.Â