Cuaca begitu cerah dan panas di kota Banda Aceh. Padahal, beberapa hari lalu, sempat turun hujan yang disertai angi  kencang yang sudah berlansung beberapa hari. Maka, ketika turun hujan selama lebih kurang dua hari, rasa gerah pun terobati. Wajar saja kalau banyak orang berucap Alhamdulillah, hujan turun. Itulah ucapan yang keluar dari mulut banyak orang sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah ketika hujan yang tidak begitu deras menyiram kota Banda Aceh.
Bersyukur kepada Allah yang menurunkan rahmat hujan kepada masyarakat Aceh, khususnya di kota Banda Aceh dan Aceh Besar, hingga  warga kota ini tidak merasa kepanasan dan kekurangan air untuk kebutuhan hidup sehari-hari.Â
Ya, Â tidak kekuangan air untuk mandi, tidak krisis air untuk nyuci, walau untuk minum kita harus membeli yang sudah diklaim bisa langsung minum. Kendatipun air langsung minum, sumbernya juga apabila ada hukan turun dan tanah menyimpannya lalu mengalir lewat mata air. Maka, hujan yang dianugerahkan Allah sejak pagi itu adalah sebuah rahmat yang sangat besar dan selayaknya kita bersyukur.
Hujan yang turun selama lebih kurang dua hari itu, mengingatkan penulis pada  masyarakat di Aceh Timur. Di Kabupaten ini, khususnya di daerah kecamatan Idi dan di Peureulak ternyata masyarakatnya sedang kesulitan air. Konon kemarau sudah berlangsung sekitar Sembilan bulan. Ya, hampir satu tahun. Begitu cerita yang terdengar dari beberapa sumber di Idi dan Peureulak.Â
Penulis sendiri ikut merasakan kesulitan itu ketika pada tanggal 22 Juli hingga 25 Juli 2018 berada di kota Idi dan sempat berkunjung ke kecamatan Peureulak Aceh Timur. Selama tiga hari penulis berada di Idi dan Peureulak untuk sebuah kegiatan yang berlangsung dari tanggal 22 hingga 25 Juli 2018 lalu itu. Â Pada hari pertama berada di kota itu, teman yang ikut kegiatan, mengajak makan siang dengan menu special.
 Sudah menjadi kebiasaan,  pada momentum perjalanan atau mengikuti sebuah kegiatan dimana saja, mencari makanan lokal sering muncul di pikiran dan ingin bisa menikmatinya. Kebetulan siang itu, sudah saatnya untuk makan siang, maka pilihan untuk siang itu adalah makan nasi. Tentu banyak warung nasi di sepanjang jalan Medan - Banda Aceh, lokasi kota Idi berada, namun ada tawaran yang paling enak adalah ajakan untuk bakar ikan.
Siang itu pun penulis dan beberapa teman menuju TPI yang tak jauh dari Pasar Idi untuk menikmati makan siang. Â Di TPI ini kita bisa membeli ikan-ikan segar. Maka, ikannya dibeli di TPI dan dibawa ke warung nasi dan pemilik warung membakar ikan hingga siap santap. Lagi pula ikannya tergolong murah bila dibandingkan dengan harga ikan di kota Banda Aceh.
Ia pun menjawab ya. Bahkan, katanya lagi, sudah sembilan bulan tidak pernah turun hujan. Jadi, kami sudah merasakanya panas begini sekian lama. Di rumah-rumah penduduk kini sudah kesulitan air. Kami sedang krisis air.Â
Begitu tuturnya lagi. Sumur warga kini kering. Sudah cukup lama kering. Karena sumur-sumur kering, masyarakat masyarakat kecamatan Idi ini banyak yang menggunakan  sumur bor.  Malah sumur bornya hampir di setiap rumah. Parahnya pula, setelah setiap rumah membuat sumur bor, airnya juga banyak yang tidak layak untuk dikonsumsi. Sebagian kini sumur bor itu  juga kekurangan air. Nah, bisa dibayangkan apa yang terjadi bukan?
 Tentu dalam kondisi tersebut, air  yang merupakan sebagai sumber kehidupan, lalu sumber itu mengalami krisis, maka jelaskah masyarakat daerah ini kesulitan akan air untuk minum, cuci dan mandi, serta buang air. Kesulitan itu, ikut penulis rasakan usai makan siang, ketika berada di rumah salah satu masyarakat di sebuah desa di Idi tersebut, penulis  kebelet, ingin ke kamar mandi untuk buang air kecil. Terbukti, di rumah tersebut tidak ada air bersih untuk ke kamar mandi tersebut.Â