Oleh Tabrani Yunis
Hari Sabtu 30 Juni 2018 lalu, aku berangkat menuju tanah tinggi Gayo bersama dua rekan dari Walhi Aceh, M.Nur yang saat ini menjabat sebagai direktur eksekutif Walhi Aceh dan Khairil yang menangani bidang advokasi. Aku sendiri ikut menumpang mobil Walhi itu.Â
Kami ke Daratan Tinggi Gayo, bukan untuk misi melakukan investigasi, bukan pula mengemban tugas advokasi, bergerak ke negeri kopi itu untuk melayat ke rumah sahabat kami, Jufriadi.
Bung Jufriadi, direktur Puspa Aceh Tengah itu meninggal pada hari Jumat, 29 Juni 2018, setelah dirawat di rumah sakit Datu Beru, Takengon, Aceh. Ya, dengan demikian, kami menjalankan perjalanan sosial dan solidaritas kepada almarhum.Â
Selain itu, hubungan kami bukan hanya karena memiliki mimpi dan aktivitas sebagai orang LSM, tetapi juga seprofesi, karena beliau selain sebagai Direktur Puspa, Â juga sebagai guru dengan tugas terakhir sebagai pengawas sekolah di Bener Meriah. Semakin kuat hububgan itu, kami sama-sama sebagai salah satu anggota Dewan daerah (DD) Walhi Aceh.Â
Jadi, kehadiran kami ke rumah duka merupakan wujud kedekatan dana kekerabatan sosial kami yang sudah terbangun sekian lama. Ya, lama berkecimpung di dunia LSM atau lembaga Swadaya Masyarakat di Aceh sejak tahun 1990. Sebagai sahabat, senior dan aktivis lingkungan dan pegiat di LSM di Aceh kami layak ikut berduka dan melayat hingga ke rumah duka.
Alhamdulilah, setelah menempuh perjalanan lebih kurang 8 jam dari kota Banda Aceh, kami tiba pada pukul 00.30 pagi. Karena masih tengah malam, suasana yang sangat dingin, kami memilih menyeruput sajian kopi Gayo di sebuah warung di pinggir jalan di Simpang Balek, Bener Meriah itu. Lalu, menuju ke rumah seorang sahabat, Sabran yang tinggal tidak jauh dari rumah almarhum Jufriadi.
Udara di bukit Gayo terasa sangat dingin dan menusuk-nusuk pori-pori kulit dan membuat kami tidak sanggub berada di luar rumah. Untung saja, kami masing-masing membawa jaket yang bisa menghangatkan tubuh. Dingin malam pun, kami akhiri dengan merebahkan tubuh di peraduan yang sudah disediakan bung Sabran dengan selimut tebal, hingga bisa menikmati tidur sampai saatnya melaksanakan salat subuh.Â
Karena daerah dataran tinggi Gayo, berada di daerah dingin, maka jangan kaget ketika bersentuhan dengan air. Air di dalam bak, terasa bagaikan es, yang ketika disiram di bagian tubuh, terasa seperti terkena es. Sangat dingin.
Udara yang dingin alias sejuk dan bersih. Sementara keindahan alam yang berbukit dan hijaunya kebun kopi yang terbentang luas, menjadi kekaguman tersendiri akan kekayaan negeri seribu bukit ini. Selayaknya kami bersyukur bisa datang ke negeri kopi ini.