Malam Kamis itu, tanggal 13 Maret 2018, tepat pukul 21.00 WIB aku naik mobil menempati posisi kursi depan. Ya, seperti biasanya memegang kendali setir mobil yang selalu membawaku ke berbagai pelosok Aceh. Dengan mengendarai mobil  Ford Everest keluaran 2004 itu, aku dan tiga teman  yang menemani perjalanan mulai meninggalkan kota Banda Aceh menuju dataran tinggi Gayo.Â
Tujuan utama adalah Kabupaten Bener Meriah dan kemudian dilanjutkan ke kota Takengon, Aceh Tengah itu. Perjalanan ke Kabupaten Bener Meriah yang berhawa dingin itu, memakan waktu lebih kurang 8 jam. Bisa saja lebih, karena tergantung kecepatan mobil yang kita kendarai. Semakin cepat laju mobil, bisa lebih cepat dari kebiasaan.
Malam itu, aku yang mengendarai mobil hingga ke kota Juang, Bireun. Dengan kecepatan mobil rata-rata antara 80-120 km per jam itu, kami tiba di kota Bireun pada pukul 01.00 WIB. Setiba di ibu kota Bireun itu, kami menuju sebuah cafe yang terletak di jalan Bireun Takengon. Walaupun sudah pukul 01.00, ternyata masih banyak orang yang duduk dan menikmati sajian kuliner di cafe tersebut. Kami memesan minuman dan makanan, sambil beristirahat sejenak.Â
Ya, kami menghabiskan waktu istirahat sekitar 45 menit. Lalu, melanjutkan perjalanan ke dataran tinggi Gayo yang terkenal dengan tanaman kopi yang membuat daerah ini sering disebut dengan negeri kopi. Untuk melanjutkan perjalanan ke Bener Meriah malam itu, aku menyerahkan setir mobil kepada Fadhil yang ikut menemani perjalanan ke negeri seribu bukit itu. Berarti giliranku untuk bisa pejamkan mata, tidur dalam perjalanan itu.Â
Aku tidak mengetahui sudah sampai mana. Namun, aku terpaksa bangun ketika mobil sedang mendaki gunung yang sudah mendekati SPBU yang terletak di daerah teritit. Aku terbangun, ketika Fadhil menghentikan mobil di pendakian. Ia memanggilku dan mengatakatan ia kesulitan mengganti gigi atau gear. Ia malah mengatakan mobil mengalami kerusakan pada kopling. Dalam keadaan mengantuk, aku merasa kaget dan langsung turun dari mobil.Â
Namun, aku terasa sangat kaget dan menggigil, karena suhu udara yang sangat dingin. Aku pun meraih jaket dan langsung memakainya. Aku naik ke mobil dan menekat klos mobil. Ternyata mengalami kemacetan. Aku mencoba melakukan sesuatu, maka aku coba menekan-nekan klos yang macet, aku akhirnya bisa menemukan bahwa klos sudah normal, lalu aku memberikan kembali setir kepada Fadhil. Waktu sudah menunjukan pukul 04.00 pagi.
Pukul 04.00 WIB untuk wilayah Aceh adalah waktu yang masih terlalu pagi dan semua orang sedang nyenyak tidur. Apalagi untuk masyarakat di dataran tinggi Gayo yang berudara atau hawa dingin itu. Pasti masih sangat dingin untuk keluar rumah. Kami pun akhirnya memutuskan untuk istirahat sejenak di SPBU tersebut. Aku tetap bertahan di dalam mobil, karena tidak tahan melawan dingin.
Satu kekayaan yang dimiliki oleh daerah ini, selain hasil bumi berupa rempah-rempah itu adalah anugerah terbesar yang menakjubkan, yakni sebuah danau yang luas yang terbentang di perbukitan yang tinggi itu. Danau yang diberi nama," Danau Laut Tawar", danau yang sangat luas yang diperkirakan lebih kurang 5.472 hektar, dengan panjang 17 km dan lebar 3219 km dan memiliki debit air yang sangat banyak.Â
Seperti yang ditulis di  wikipedia  bahwa volume airnya kira-kira 2.537.483.884 m (2,5 triliun liter). Jadi sangat luas bukan? Pantas saja kalau danau ini disebut dengan laut, tetapi tawar. Tentu saja, selain menjadi daerah yang menyimpai air bagi kehidupan manusia yang bukan saja bagi manusia dan makluk yang hidup di dataran tinggi gayo tersebut, Danau Laut Tawar menyediakan cadangan air bagi umat manusia di beberapa kabupaten  di Aceh. Bahkan dengan danau itu bisa menghasilkan listrik yang bisa menerangi hidup manusia.