Seorang teman yang berdomisili di Kecamatan Kota Fajar, Aceh Selatan, suatu hari ketika sedang ada acara penataran guru merasa khawatir ketika melihat langit begitu mendung, pertanda hujan akan segera turun. Kekhawatirannya, karena saat itu banjir sedang melanda di kawasan Kabupaten Singkil yang menyebabkan satu bocah usia 3 tahun hilang dibawa banjir itu. Melihat mendung dan mengingat bencana banjir di Kabupaten Singkil dan di Buloh Seuma Trumon Aceh Selatan itu, membuat dirinya waswas bila banjir juga akan melanda tempat kediamannya di Kecamatan Kota Fajar Aceh Selatan.Â
Tentu saja tidak berlebihan bila ia merasa waswas dan khawatir, karena selama ini desa dan kecamatan di mana ia tinggal juga sangat sering diterjang banjir. Maka, ia teringat akan anak dan istrinya di kampung serta sejumlah buku yang ia miliki. Ia teringat dengan buku, karena ia pernah kehilangan banyak buku karena banjir.
Lebih lanjut, ia bercerita. Banjir yang terjadi sekarang ini lebih berat. Diakatakan berat, karena banjir bukan hanya air yang mengalir dan menggenangi kampung-kampung, tetapi sekarang ini, setiap kali banjir datang, maka banjir akan selalu membawa lumpur. Jadi, sangat berbeda dengan dulu. Sekarang, selama maraknya penambangan emas di hulu sungai, banjir lumpur merupakan banjir yang mengkhawatirkan bagi masyarakat.
Nah, mendengar cerita mengenai kondisi banjir di kampung teman ini, yang banjirnya membawa banyak lumpur tersebut, maka kala itu ingatan langsung teringat akan tragedi-tragedi yang memilukan yang terjadi di daerah aktivitas penambangan emas tersebut. Tragedi pertama adalah tragedi yang menimpa para penambang itu sendiri. Bila kita hitung-hitung jumlah korban jiwa yang sudah melayang, maka ada berpuluh-puluh orang sudah meninggal. Ada yang berada di daerah tambang emas di Geumpang, Pidie, di Gunong Ujeuen Aceh Jaya dan juga di Manggamat, Aceh Selatan. Ada yang mati tertimbun di dalam lubang ada pula yang meninggal karena serangan berbagai penyakit berbahaya, seperti malaria.
Selain menyebabkan kematian di pihak para penambang, dampak buruk yang dirasakan oleh masyarakat di sekitar wilayah penambangan adalah terjadi banjir yang membawa lupur, kerusakan hutan, termasuk hutan lindung, serta ancaman kematian karena penggunaan merkuri yang dilakukan swcara bebas oleh para penambang. Akibat dari penggunaan merkuri tersebut maka banyak sungai dan sumber-sumber air tercemar dengan merkuri.Â
Sehingga, masyarakat akan kesulitan dalam mendapat air minum dan lainnya yang tidak tercemar oleh merkuri yang sangat membahayakan bagi kesehatan masyarakat. Bukan saja pada sumber air, tetapi juga pada sumber-sumber makanan yang hayati, seperti ikan dan kerang. Tak dapat dipungkiri, banyak orang yang tidak berani lagi makan ikan sungai atau ikan air tawar, temasuk kerang, karena takut terkena bahaya racun berat merkuri. Jadi, kalau masyarakat sudah takut memakan ikan, udang dan sumber-sumber kehidupan di sungai, maka itu adalah sebuah bencana yang akan selamanya mengancam masyarakat di wilayah daerah tambang emas tersebut.
Konon lagi, aktivitas penambangan emas yang legal dan illegal, baik secara tradisional, maupun modern terus marak dilakukan beroperasi, maka bencana ekologi yang menyebabkan keusakan, dan kematian atau kehilangan nyawa akan terus mengancam generasi Aceh di masa kini dan akan datang. Masyarakat Aceh seakan lupa pada tragedi bencana yang selama ini terjadi seperti banjir bandang, kebakaran lahan dan bahkan bencana tsunami yang pernah menghantam Aceh pada 26 Desember 2004 lalu.
Seharusnya kita bisa belajar dan mengambil pelajaran dari semua bencana yang telah menghantam Aceh tersebut. Namun anehnya, maraknya aktivitas penambangan emas di Aceh ini, terus terjadi walau bencana sudah sering terjadi.Â
Semakin marak pula terjadi di masa pasca Aceh damai. Masa damai, seakan menjadi masa yang tepat untuk mengeksplorasi segala sumber daya alam yang ada di Aceh. Mengerikan sekali bukan? Ya, tentu saja mengerikan. Apalagi selama ini berita di media mengenai penambangan emas itu sangat sering. Seringnya pemberitaan mengenai penambangan tersebut, tidak terlepas dari banyaknya aktivitas penambangan emas di Aceh selama ini yang masih sangat marak.Â
Maraknya aktivitas masyarakat yang melakukan penambangan emas terjadi di beberapa daerah kabupaten, seperti di Geumpang, Pidie, di Gunong Ujeun, Aceh Jaya, di Kecamatan Beutong, Nagan Raya, di Kecamatan Sungai Mas Krueng Sungaimas, Kecamatan Sungaimas, Krueng Bajikan, Kecamatan Pante Ceureumen, dan Krueng Reuget, Kecamatan Panton Reu. Aceh Barat, di Aceh Barat Daya, dan di Manggamat, Aceh Selatan.
Maraknya kegiatan tambang tersebut, membuat pihak Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh yang melakukan investigasi ke Kecamatan Beutong, Kabupaten Nagan Raya. M. Nur. Direktur Walhi Aceh mengatakan, pertambangan emas di empat desa yaitu Blang Baroe PR, Panton Bayam, Blang Leumak, dan Krueng Cut sudah parah. Pertambangan ilegal tidak hanya terjadi di sungai, tapi juga di halaman rumah penduduk. Ada 65 unit alat berat mengeruk sungai hingga pekarangan rumah warga. Luas pertambangan sekitar 1.108,93 hektare. Mengerikan sekali bukan?
Wajar saja, banyak pihak yang merasa gundah dan gelisah melihat banyaknya usaha tambang, baik legal maupun ilegal di Aceh. Sudah banyak aksi menolak tambang yang dilakukan oleh pihak masyarakat, termasuk mahasiswa. Di Aceh selatan, seperti diberitakan oleh Harian Serambi Indonesia edisi 31 Mai 2017, memberitakan bahwa Sejumlah pemuda dan mahasiswa Aceh Selatan yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Tolak Tambang (Gatot) Aceh Selatan, menggelar aksi di Bundaran Simpang Lima, Banda Aceh, Selasa (30/5/2017). Mereka meminta Pemkab Aceh Selatan mencabut izin pertambangan yang telah merusak alam daerah tersebut.
Pihak pemerintah Aceh, sudah memberlakukan moratorium atau jeda tambang di Aceh. Namun, moratorium itu seakan tidak bergigi. Oleh sebab itu ketika zaman pemerintahan dr. Zaini Abdullah seperti diberitkan Harian Serambi Indonesia 13 Oktober 2016 bahwa Gubernur Aceh, dr H Zaini Abdullah, berkomitmen melanjutkan moratorium atau jeda tambang di Aceh.
Sebelumnya, di tahun 2014, Gubernur Aceh telah mengeluarkan Instruksi Gubernur (Ingub) Aceh Nomor 11/Instr/2014 tentang Moratorium Izin Pertambangan Mineral dan Batubara di Aceh, namun Ingub tersebut akan berakhir pada 30 Oktober 2016. Dampak positif dari moratorium tersebut seperti disebutkan oleh Askkalani, Koordinator Gerak saat itu, bahwa dengan terbitnya Ingub Moratorium Tambang, Pemerintah Aceh telah berhasil menyelamatkan 2.760 hektare (Ha) hutan Aceh, baik yang berada di kawasan Hutan Lindung maupun Hutan Konservasi. Keberhasilan ini tentu saja karena ada itikad baik dari Pemerintah Aceh dan jajaran terkait,
Kendati pun demikian, banyak pula penambang yang tetap mempertahankan aktivitas penambangan emas tersebut. Di Nagan Raya saat itu, meski telah dilarang oleh Pemerintah Kabupaten Nagan Raya serta pihak terkait dari jajaran Pemerintah Aceh sejak bulan Februari 2016 lalu, aktivitas penambangan logam mulia jenis emas yang tersebar di sejumlah lokasi di Kecamatan Beutong, hingga kini masih tetap beroperasi.
Bahkan di bulan Oktober dan November 2017 ini, pemerintah Aceh semakin tegas terhadap para penambang, terutama para penambang ilegal tersebut. Pemerintah Aceh kini terus melarang aktivitas penambangan tersebut, bahak dengan tegas melakukan penangkapan terhadap para penambang, terutama penambang illegal yang menggunakan alat-alat berat seperti beko yang banyak ditemukan di daerah tambang seperti di Geumpang, Pidie dan daerah lainnya.
Kiranya, penertiban dan pelarangan penambang emas secara legal dan illegal di Aceh yang sudah banyak menimbulkan kerugian itu memang harus dilakukan dengan tegas. Saat ini, terbukti bahwa para penambang sudah beramai-ramai menggali kuburan sendiri. Oleh sebab itu tidak elok, apabila mereka juga beramai-ramai menggali kuburan massal untuk masyarakat yang berada di areal tambang dan yang berada di hilir kegiatan tambang.Â
Selamatkan alam dan selamatkan umat manusia dan mkhluk lain dari kehancuran lingkungan dan kehancuran ekologi sekarang juga. Belajarlah pada pengalaman dan tragedi karamnya kapal tanker Exxon Valdez yang menumpahkan minyak mentah sebesar 11 juta galon di perairan Alaska, pada tanggal 24 Maret 1989. Tragedi Minamata di India dan bahkan di Indonesia tragedi kerusakan alam yang hingga kini belum mampu teratasi adalah bencana di Lapindo di Jawa Timur. Semoga kita bisa belajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H