Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenang Kisah "Tukang Kritik" yang Dipindah

4 November 2017   17:55 Diperbarui: 4 November 2017   18:52 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tukang Kritik itu memilih cara lain untuk berekspresi

Oleh Tabrani Yunis

Tulisan ini dimaksudkan hanya sekedar mengenang kisah masa lalu. Kisah pribadi ketika menjadi " tukang kritik" kala bertugas di SMA Negeri 3 Banda Aceh, selama beberapa tahun. Ya, mulai tahun 1994 dan dipindahkan pada November 2006 ke SMA Negeri 4 Banda Aceh. Sebuah kisah pemindahan yang mematikan semangat berkreasi dalam menjalankan peran sebagai guru yang entertainer. Seringkali, pejabat, seperti kepala Dinas dan pihak yang berwenang, lebih mempertahankan Kepala Sekolah yang jabatannya hanya 5 tahun itu, dibandingkan dengan guru yang mungkin menjadi idola bagi peserta didik. Oleh sebab itu, sebagai pembelajaran, maka tulisan ini dinukilkan. 

Kritik, dalam masyarakat demokratis adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan. Bagi mamsyarakat yang menganut system demokratis ini menjadikan kritik sebagai bagian yang sangat penting dalam hidup bernegara. Kritik menjadi bahagian dari kehidupan yang memang harus ada dan dipellihara. Karena pada hakikatnya kritik adalah sebuah alat control yang terhadap seseorang, baik antara individu dengan individu dalam hubungan social, maupun dalam hubungan structural, antara bawahan dengan atasan atau sebaliknya. 

Maka, di alam demokratis tersebut kritik sering  digunakan untuk mengawasi jalannya sebuah kepemimpinan yang demokratis. Bahkan, karena begitu pentingnya membangun budaya kritik tersebut, kalangan orang-orang democrat, memandang bahwa criticism is an expression of love(Kritik sebagai sebuah ungkapan cinta). Benarkah demikian?

Jawabannya tentu sangat tergantung dari siapa yang menjawabnya. Kalau bagi penganut aliran demokrasi, ungkapan ini tentu sangat relevan. Namun bagi mereka yang tidak demokratis, pasti ia akan mengatakan bahwa itu tidak benar. Bila pertanyaan ini kita tanyakan pada orang-orang yang demokratis, maka akan kita temukan makna kritik sebagaimana dimaksudkan pada awal tulisan ini. 

Bila kita melihat kritik dari kacamata positif, maka kita bisa memaknai bahwa tatkala seseorang mengkritik orang lain seperti mengkritik atasan atau pejabat semisal guru yang mengritik kepala sekolah, sebenarnya justru karena yang mengkritik tersebut ingin menjaga agar kepala sekolah tidak terlanjur melakukan kesalahan atau penyelewengan. Kritik adalah sebuah teguran atau warning kepada seseorang yang mengontrol jalannya sebuah kekuasaan. Begitu banyak manfaat sebuah kritik bagi mereka yang memandang kritik secara konstruktif.

Menegasikan Kritik

Kendatipun kritik menjadi sebuah kebutuhan bagi masyarakat yang demokratis karena dilihat secara positif. Banyak orang yang tidak suka dikritik. Banyak orang yang dikritik kebakaran jenggot. Banyak orang yang menegasikan kritik. Artinya setiap orang melempar kritik, maka kritik itu dianggap sebagai sebuah aksi mendongkel sebuah kedudukan. Kritik dianggap distruktif, walaupun sebenar isi kritik tersebut penuh dengan kebenaran. Perlawanan atau penolakan terhadap kritik biasanya terjadi antara atasan, atau antara anak dengan orang tua dan juga antara anak didik dengan guru ( dalam konteks structural). 

Bahkan di kalangan pejabat yang merasa sangat mapan dengan kursi kekuasaannya, sang pejabat sangat alergi dengan kritik. Kalaupun sang pejabat mengatakan kritiklah aku, agar aku bisa mengontrol diri, ungkapan ini banyak menjadi bentuk kemunafikan seorang pemimpin. Para pemimpin yang alergi terhadap kritik, ia akan selalu menganggap kritik sebagai sebuah upaya untuk menjatuhkan posisinya sebagai pejabat. Banyak pemimpin yang hipokrit alias munafik (biasaanya tidak sesuai antara kata dan perbuatan, berpenampilan islami, tetapi berhati yahudi), berpura-pura suka terhadap kritik, lalu dengan licik berupaya membungkam orang-orang yang kritis tersebut.  

Karena orang-orang yang suka mengritisi atau mengkritik tersebut sering diposisikan sebagai lawan. Seorang yang suka mengkritik atasan, seperti halnya guru mengritik kepala sekolah, maka sang guru akan diberikan label, "Tukang Kritik", Pengacau dan yang lainnya yang bernuansa negative. Nah, tatkala kritik tersebut dipandang demikian, maka dalam dunia kerja, baik di perusahaan, di organisasi dan di pemerintahan, orang-orang kritis yang sering kita kenal dengan istilah " Kritikus" tersebut selalu saja dibungkam oleh sang penguasa. 

Sudah banyak tokoh kritis di negara kita yang dibungkam dengan berbagai cara di zaman Orde baru. Pembungkaman tersebut karena kritik-kritik yang disampaikan oleh para kritikus dianggap membahayakan kelanggengan sebuah kekuasaan. Paling tidak, kita pernah mendengar nama-nama seperti Sri Bintang Pamungkas yang kemudian dilemparkan ke penjara karena kritiknya dinayatakan subversive. Kita juga pernah mendengar nama Arif Budiman yang kritis dan terpaksa hijrah ke Australia. Banyak orang-orang kritis di Indonesia yang dibungkam dengan berbagai cara, baik melalui produk hukum, maupun berbagai aksi yang bahkan dilakukan dengan tindak kekerasan misalnya penyiksaan dan pembunuhan.

Pembungkaman Guru Kritis

Pembungkaman terhadap para kritikus atau orang-orang kritis tidak saja terjadi pada mereka yang terlanjur kenal karena banyak berbicara dan diliput oleh media. Pembungkaman juga terjadi pada profesi guru oleh para pejabat pendidikan, mulai dari Kepala sekolah, kepala Dinas pendidikan dan Pemda (Wali kota) Banda Aceh saat ini.  Hal ini dialami oleh 3 guru dari SMK 3 Negeri Banda Aceh. Drs.Imran (42) tahun, guru bahasa Inggris di SMK Negeri 3, bersama dengan Drs. Samsul Bahri, M. Ed yang juga guru bahasa Inggris di sekolah tersebut serta Drs. Jamaluddin. 

Ketiga guru ini dalam pengakuan mereka adalah guru yang ikut mengangkat masalah penyelewengan dana bantuan sekolah yang ada di SMK Negeri 3 Banda Aceh beberapa waktu lalu. Mereka telah mengangkat kasus tersebut hingga harus berhadapan dengan polisi serta dengan Bawasda. Buah dari perjuangan mereka seperti yang mereka akui, saat ini sang kepala sekolah sudah dipindahkan. Namun, apa yang membuat mereka kaget, ternyata perjuangan mereka mengangkat kebenaran tersebut, tidak hanya berbuah kelegaan hati banyak orang, tetapi mereka menjadi kaget karena dengan tiba-tiba ketiga guru tersebut, mendapatkan sepucuk surat keputusan (SK) pindah dari Dinas pendidikan. 

Jelas ini mengejutkan bukan? Wajar saja mereka bertanya, mengapa mereka harus pindah? Padahal mereka tidak pernah mengajukan permohonan pindah. Kalau itu sebuah pengargaan karena berhasil membongkar kemungkaran di sekolah, mengapa tidak ada penjelasan apakah itu sebuah penghargaan yang membuat mereka harus pindah. Juga kalau itu sebuah hukuman, mereka sebelumnya tidak pernah, menerima peringatan, baik lisan maupun tertulis. Bukankah ini sebuah tindakan yang cacat hukum? Para pembaca bisa bayangkan, apa yang terjadi, kalau kebaikan dalam mengungkapkan kebenaran, kemudian dibalas dengan hukuman? Kalau begitu, untuk apa repot-repot melaporkan kasus korupsi, kalau nanti mereka yang mendapat hukuman?

Pembungkaman terhadap guru yang kritis, ternyata bukan saja dialami oleh 3 guru SMK Negeri 3 Banda Aceh. Nasib yang sama juga dirasakan oleh 2 guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Banda Aceh. Kedua guru ini merasa seperti dipermalukan saat masuk ke kantor sekolah mereka karena nama mereka sudah dihapus di dalam jadwal mengajar. 

Kejadian tersebut mereka dapatkan sebelum mereka menerima SK pemindahan. Kedua guru ini sangat keberatan dengan tidakan pemindahan yang terkeasan pengusiran secara licik tersebut. Mereka saat ini menyalurkan aspirasi mereka kepada sebuah organisasi guru alternative, yakni KOBAR-GB yang hingga kini masih getol memperjuangkan nasib guru di Aceh. Kedua guru ini menolak untuk dipindahkan karena tidak ada alasan yang jelas, kecuali diketahui bahwa mereka ikut dalam kelompok guru 14 yang berjuang mengkritik dan memprotes kebijakan kepala sekolah di sekolah tempat mereka yang sempat heboh d media masa.

Bukan hanya dua orang guru MAN Model Banda Aceh dan tiga guru SMK Negeri 3 yang kritis itu yang dipindahkan. Ternyata di SMA Negeri 3 Banda Aceh, 3 guru dimana dua diantaranya tergolong orang yang kritis dan aktif menyampaikan kritik kepada kepala sekolah maupun pemerintah lewat lisan maupun tulisan. Mereka juga mendapatkan SK pemindahan secara sepihak ke sekolah lain. Masih banyak guru lain yang terkaget-kaget dengan kesewenangan Dinas Pendidikan Kota Banda Aceh dan pihak Wali kota yang menandatangani SK tersebut.

Bila guru yang kini sedang belajar menjadi kritis, maka kemungkinan yang akan terjadi di sekolah adalah merajalelanya kesewenang-wenangan kepala sekolah. Kepala sekolah akan selalu berkata, guru tidak perlu ikut campur soal dana yang ada di sekolah, guru tugasnya mengajar. Laksanakan saja, apa yang diperitahkan. kalau mengajar, ya mengajar saja. Jangan sibuk mengurus apa yang dilakukan oleh kepala sekolah. Berbahaya bukan?  Tentu saja bahaya. Sebab, akan terjadi bermacam penyelewengan yang bisa merugikan sekolah dan juga para guru sendiri. 

Nah, kalau guru yang baru belajar menjadi kritis dibungkam, maka bahaya yang akan dituai adalah sekolah benar-benar akan menjadi beo, karena guru yang membeo, akan melahirkan banyak beo-beo baru. Padahal, seorang guru yang ideal adalah seorang guru yang kritis. Karena dari sikap guru yang kritis, akan lahir sebuah sikap kreatif. Oleh sebab itu, kepada Dinas pendidikan dan juga para pejabat pendidikan serta PEMDA diharapkan tidak membungkam para guru yang kritis tersebut. 

Dony Kleden, Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (Kompas 14 November 2006) mengingatkan agar tukang kritik tidak dibungkam, karena "Apabila tukang kritik dibungkam, demokrasi menemukan ajalnya. Kehadiran tukang kritik adalah suatu keniscayaan dalam sebuahpemerintahan yang demokratis. Menihilkan tukang kritik sama denganmembangun pemerintahan yang tiran dan otoriter. Mari kita renungkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun