Oleh Tabrani Yunis
Malam ini, tiba-tiba aku teringat pada sebuah kegiatan yang menarik yang aku dan kawan-kawan lakukan dalam membangun gerakan literasi di sekolah-sekolah.  Aku bersyukur. Alhamdulilah, pukul 07.30 mobil Ford Ranger tahun 2002 yang aku sopiri  sendiri dari kota Banda Aceh ke Trienggadeng, Pidie Jaya aku parkirkan di depan sebuah warung kopi di pasar Trienggadeng.Â
Turun dari mobil, aku bersama staf layout majalah POTRET dan majalah Anak Cerdas masuk menuju warung dan bertanya, bila ada nasi untuk sarapan. Ternyata tidak ada dan kami mencari warung lain yang tidak jauh dari warkop itu dan ada sebuah warung yang di depannya menjual nasi untuk sarapan pagi. Kami pun, pak Bayhaqi, Iqbal dan aku, menyantap sajian kari bebek ala Pidie Jaya itu, ditambah segelas kopi.
Usai sarapan pagi di passar Trienggadeng, Pak Bayhaqi yang menjadi penghubung dengan pihak kepala SD Negeri Kuta bate, Pidie jaya itu mengajak kami bergerak menuju sekolah yang dituju, yakni SD Negeri Kuta Bate. Aku naik ke mobil dan menghidupkan mesin, sementara Iqbal dan bayhaqi masih di belakang menuju mobil dan kemudian naik ke mobil. Aku mulai bermain dengan stir dan memutar arah menuju sekolah. Sesampai di pintu gerbang sekolah, kami sudah melihat ada sejumlah anak SD dari SD Negeri 2 Trienggadeng,  didamping oleh seorang guru yang kemudian dikenal namanya dengan bu Dessy yang akan ikut mendamping anak-anak  dalam acara yang akan kami gelar itu.
Selain bu Dessy dengan sejumlah anak dari sekolah SD Negeri 2 Trienggadeng tersebut, kami dipermukan dengan guru-guru SD Negeri Kuta bate. Bahkan saat aku parkir mobil di pekarangan atau halaman sekolah, kepala SD Negeri Kuta bate, Nurhayati langsung menghampiri kami dan mempersilakan masuk ke ruangan guru. Namun, kami lebih memilih berada di luar, sekalian mengamati gedung sekolah yang pada  tanggal 7  Desember 2016 lalu diguncang gempa dengan kekuatan 6,5 SR.
 Di beberapa bagian bangun sekolah tersebut terlihat ada yang retak-retak, namun masih digunakan. Sementara di halaman sekolah itu juga ada sebuah kelas yang dibuat dari tenda. Tenda ini menjadi kelas sementara, sambil menunggu dibangunnya bangunan kelas lain.  Tenda itu kemudian kami pilih sebagai tempat untuk mengadakan pertemuan dengan lebih kurang 150 anak.
Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 pagi. Anak-anak yang akan ikut acara, sudah menempati tikar atau karpet yang dikembangkan di bawah tenda tersebut. Mereka tampak sangat antusias untuk mengikuti acara itu. Dengan sangat teratur mereka tempati ruang-ruang kosong di atas tikar yang sudah dibentang itu. Â Ya, mereka seakan ingin cepat dapat mengetahui bagaimana jalannya acara. Agar suara yang mengisi acara bia didengar oleh semua peserta, Iqbal Perdana membantu memasang soundsystem dan mengopereasikan laptop untuk menampilkan bahan yang akan disajikan kepada anak-anak tersebut.
Untuk memulai acara, aku meminta kepala sekolah untuk membuka acara tersebut. Kebetulan pula pada hari itu ikut hadir kepala Dinas Pendidikan Pidie Jaya, Saiful M.Pd. Maka, usai pengantar diberikan oleh kepala sekolah, dilanjutkan dengan wejangan dari kepala Dinas kepada anak-anak. dalam arahannya, kepala Dinas Pendidikan Pidie jaya ini, berusaha memberikan motivasi kepada anak-anak bahwa semua hal bisa ditulis, semua orang bisa menulis. yang paling penting adalah mau.Â
" Anak-anak yang cerdas", ujar pak Kadis. Kalian sehari-hari sepulang sekolah, apa yang kalian lakukan? Anak-anak ada yang menjawab, mencari ikan di kolam pak. Nah, bisakah kalian ceritakan secara tertulis tentang kegiatan mencari ikan tersebut. Yang lain? tanya pak Kadis? Seorang anak menjawab, saya pulang sekolah bermain bola dengan teman-teman. Nah, kamu bisa ceritakan tentang main bola ya, tukas kadis. Anak-anak mengangguk.
Kepala Dinas Pendidikan, Saiful M.Pd menjadi semakin bersemangat ketika melihat anak-anak yang semakin antusias mengikut acara setengah hari belajar berkarya lewat tulisan, lukisan/gambar, menulis puisi dan lain-lain. Namun, karena keterbatasan waktu, Kadis Disdik, menyerahkan forum kepadaku.Â