Photo dukumen Pribadi
Oleh Tabrani Yunis
Namaku Umi Khulsum. Aku lahir di Jakarta. Akuseorang ibu rumah tangga biasa dengan 3 anak dan satu suami. Beberapa waktu lalu, aku berkenalan denganMbak Hanifah dari AMAN Indonesia. Ia mengajakku untuk ikut bergabung mengikutikegiatan di Sekolah Perempuan Perdamaiandi Pondok Bambu Jakarta. Karena aku hanya sebagai ibu rumah tangga murni danberpendidikan rendah, ajakan mbak Hanifah itu aku sambut dengan perasan takut. Akumerasa sangat tidak percaya diri. Namun, kemudian aku diyakinkan oleh mbakHanifa dan akhirnya aku ikut bergabung di Sekolah Perempuan Perdamaian tersebut.
Di sinilah, aku mulai belajar beroganisasi, belajar berbicara atau berkomunikasi di depan sejumlah perempuanlain. Rasa percaya diriku pun tumbuh dan alhamdulilah, kini aku sudah beraniberbicara, sudah berani ikut berdiskusi, ikut seminar dan memberikan pendapat ketikaikut diskusi dan lain-lain. Hari ini, aku sangat senang bisa ikut belajarmenulis bersama Pak Tabrani Yunis di kantor Redaksi majalah POTRET di lantai 2POTRET Galery di jalan Prof. Ali Hasyimi, Pango Raya Banda Aceh. Begitulahtutur Umi Khulsum saat memperkenalkan diri pada acara menulis sehari di kantorRedaksi Majalah POTRET, kemarin, Sabtu 6 Mai 2017 itu.
Umi Khulsum adalah salah satu dari 7 orangperempuan dari rombongan belajar tentang perempuan Aceh di masa konflik,tsunami dan damai, yang datang ke Banda Aceh pada Kamis malam, yang tiba denganpenerbangan terakhir dari Jakarta. Mereka tiba di bandara Sultan Iskanar Muda,pada pukul 11.45 tengah malam. Selain Umi Khulsum, ada Rohimah yang jugasebagai seorang ibu rumah tangga. Ia juga selama ini menjadi bagian dari SekolahPerempuan Perdamaian di Pondok Bambu, Jakarta Timur. Ia mendapatkan kesempatanuntuk datang ke Aceh bersama teman-teman untuk menggali best practice tentang kehidupan perempuan-perempuan Aceh dalammenjalankan peran di tengah masyarakat yang sedang menjalankan syariat Islam.
Bukan hanya Ummi Kalsum dan Istiqamah, juga ada Wiwik Wulandari, dari Sekolah PerempuanPerdamaian Perempuan di Gunung Kidul, Jogjakarta. Ia punya cerita menarik dalamsegala kegiatannya selama ini. Iamemulai cerita. “ Aku mendapat undanganuntuk bergabung dalam sebuah organisasi perempuan yang ada di desa yaknisekolah perempuan perdamaian (SPP) Sindoro Indah Desa Gemblengan.
SPP adalahorganisasi perempuan berbasis komunitas yang diinisiasi sebagai media belajarbagi perempuan untuk meningkatkan kapasitasnya demi menjadi agen perdamaian.Disini aku merasakan banyak perubahan dalam diri yang sangat signifikan dari sebelumaku bergabung dalam SPP hingga saat ini. Salah satunya semakin terbukanyajaringan kerjasama dan silaturahmi yang semakin luas dengan ibu-ibu yang beradadi wilayah desa gemblengan, hal ini sangat berarti bagi warga pendatang sepertisaya”
Isiqomah, perempuan paruh baya dari Sekolah Perempuan Perdamaian Wonosobo,Jawa Tengah, juga ikut serta dalam rombongan silaturahmi dan saling belajartentang kehidupan perempuan Aceh di masa konflik dan damai ini. Selain itu, jugaada dua orang perempuan hebat dari Poso yang hadir bersama. Kedua perempuanhebat itu adalah Roswin Wuri dan Novi Malinda Jampuri. Roswin Wuri, adalah presidium 24Sekolah Perempuan Perdamaian Indonesia yang sehari-hari menjadi pendeta yang menjembatani komunitas Muslim danKristen di Poso.
Ia memiliki segudang pengalaman di masa konflik Poso danikut membangun dan merawat perdamaian di Poso bahkan juga berdamai dengan alam. Sementara Novi Malinda Jampuri, perempuan yang sudah berusia50 tahun itu sangat aktif mengelola Sekolah Perempuan PerdamaianPoso Bersatu. Katanya, ia mulai menggeluti kegiatan di Sekolah itu danmengikuti kegiatan AMAN Indonesia sejak tahun 2009.
Di antara ketujuh perempuan hebat tersebut ikutjuga seorang perempuan yang masih sangat muda dan baru menikah sebulan lalu,Lutfiah dari sekolah Perempuan Perdamain di Jember, Jawa Timur. Ke tujuhperempuan ini didampingi oleh Hanifah dan Fanani dari AMAN Indonesia.