https://www.youtube.com/watch?v=JtGRZE4NpxU
Oleh Tabrani Yunis
Ini perjalanan ku yang kedua kali ke desa TanjungBeridi, sebuah desa yang berada dalam wilayah Peusangan Selatan, di KabupatenBireun Aceh. Perjalanan bersama teman-teman peneliti dari UGM Jogjakarta. Kaliini, aku pergi bersama insan film, untuk membuat sebuah film documenter.Seperti biasanya, setiap kali aku ke desa-desa, seperti kala mengantarkanbantuan sepeda dan kursi roda untuk anak yatim, piatu, anak miskin dan anak-anakdisabilitas di berbagai daerah di Aceh, aku selalu membawa sejumlah majalahPOTRET dan majalah Anak Cerdas. Majalah-majalah POTRET yang ku bawa, biasanyaaku bagikan kepada ibu-ibu, atau pelajar setingkat SMP dan SMA yang ada di desa–desa yang aku kunjungi itu. Misalnya, ketika aku menyerahkan bantuan sepedakepada anak yang masih berstatus pelajar SMP dan sederajat dan yang masih SMA,pada saat itu juga aku memberikan paket majalah POTRET. Pada saat diserahkansepeda, juga paket majalah POTRET. Tujuannya ya sederhana saja, agar merekamemiliki bacaan yang bisa membuka dan menambah wawasan mereka. Oleh sebab itu, kala melakukan ijab kabulnya, pesan-pesan yangdisampaikan adalah ajakan untuk rajin membaca dan berkarya. Sejalan dengan misimembangun gerakan literasi yang dilakukan kedua majalah ini. Sementara untukanak-anak usia SD atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) mereka diberikan paket majalahAnak Cerdas.
Nah, pada perjalanan ke desa Tanjung Beridi, kecamatanPeusangan Selatan, Bireun kali ini, bukan dalam rangka mengantarkan bantuansepeda, tetapi membantu rekan-rekan insan film itu membuat film documenter. Kaliini aku bersama Mas Anggi, Mas Arya dan Bayu. Mereka bertiga adalah orang-orang yang sangat kreatifdari Jogja. Aku membantu memperlancar proses pembuatan, misalnya mewawancaradan bahkan penunjuk arah dan sekali gus juga bisa sebegai sopir. Ini adalahperjalanan yang mangasikan, karena sekalian bisa mencicipi kuliner Aceh yanghanya ada dua rasa, enak dan enak sekali. Begitu pula cita rasa kopi ArabikaGayo yang memesona itu.
https://www.youtube.com/watch?v=JtGRZE4NpxU
Di antara sekian banyak kesan dan kenangan dariperjalanan itu, bagiku hal yang membuat perjalanan itu selalu ada dalam ingatanpada setiap kali aku menghadiahkan majalah POTRET dan majalah Anak Cerdaskepada orang-orang desa tersebut, anak-anak desa dan bahkan orang-orang tuasekalipun sangat tertarik mendapatkan hadiah bacaan. Ketika anak-anak desa itudiberikan hadiah majalah Anak Cerdas dan atau majalah POTRET, anak-anak itutampak sangat senang dan bahagia, sambal berteriak-teriak girang danmenyebutkan terima kasih. Sontak, saatmajalah ada di tangan mereka, anak-anak tersebut langsung mencari tempat dudukdan langsung membaca bersama-sama dengan asyik.
Selain langsung menikmati bacaan, sejumlah anaklainnya datang memnghampiri dan meminta aku memberikan mereka majalah AnakCerdas dan majalah POTRET yang kami bawa. Mereka berdesak-desakan dan berebutmajalah. Tentu bukan hanya berebut majalah, tetapi yang mengharukan adalahketika mereka menerima majalah-majalah tersebut, mereka langsung mencari tempatduduk untuk bisa menikmati bacaan.
Dari suasana-suasana yang ditemukan selama ini, tuduhan atau anggapan bahwa minat baca anak-anakdi desa katanya rendah, sebenarnya tidakselamanya benar. Sangatlah tidak adil, kalau anak-anak desa diklaim ataudituduh tidak mau membaca, atau tidak memiliki minat baca. terbukti, di banyakdesa yang aku kunjungi, anak-anak sangat suka membaca. Mereka haus akan bacaanyang menarik. Sayangnya, mereka tidak punya banyak bahan bacaan yang menarik.Mereka tidak mampu membeli majalah, seperti halnya majalah Anak Cerdas danmajalah POTRET tersebut.
Nah, ketika ditanya kepada mereka, apakah kaliansuka membaca? Mereka dengan serentak menjawab, “ Kami sangat suka membaca”. Lalumengapa selama ini kalian tidak membaca? Mereka menjawab, kami tidak punyamajalah seperti ini. Lho, di sekolah? Lalu mereka berkata, di sekolah kamitidak ada majalah seperti ini. Yang ada hanya buku pelajaran. Bukunya tidakenak dibaca.
Ini adalah pengakuan jujur dari anak-anak tersebut.Ini juga membuktikan bahwa sekolah yang seharusnya menjadi tempat membaca bagianak-anak, selama ini lupa akan kebutuhan anak akan bacaan yang menarik. Kepalasekolah dan guru, kalau menggunakan dana BOS, tidak pernah membali bacaan yang menarik untuk dibacaanak. Mereka lebih cendrung membeli buku paket yang sangat membosankan bagianak-anak itu. Pikiran kepala sekolah dan guru, kalau beli buku bacaan tiak bolehlepas dari buku-buku cetak yang kualitasnya tidak mencerdaskan dan memotivasianak. Jangankan anak-anak, guru dan kepala sekolah saja tidak menarik membacabuku yang mereka beli, konon lagi anak-anak?
Kiranya, walau sebenarnya selama ini menurutbanyak referensi, konon di negeri Indonesia tercinta ini, minat baca sangatrendah bila dibandingkan dengan sejumlah negara yang ada di belahan dunia. Inimemang tidak bisa kita bantah. Apalagi, itu bukan sebuah cerita burung yang tidakada fakta atau bukti. Dikatakan demikian, karena sesungguhnya sudah banyakpihak yang melakukan survey atau mengukur tingkat literasi bangsa di dunia.Kita pasti ingat apa yang ditemukan dalam fakta sejarah di catatan PISA (Programfor International Student Assessment). Berdasarkan asessment PISA tersebut,posisi Indonesia masih pada posisi ke 60 dari 61 negara. Ya berada padaperingkat nomor dua dari bawah. Artinya, bila kita mengacu pada hasilpenelitian itu, maka bisa terbaca dengan jelas bahwa budaya baca masyarakatkita masih tergolong sangat rendah. Mungkin, tidak masuk akal. Namun, itulahfaktanya. Contoh lain adalah skor membaca para siswa kita di Indonesiadalam peringkat PISA, pada tahun 2012 berada pada posisi 64 dari 65negara. Pada tahun 2015 Indonesia juga berada di papan bawah, pada posisi69 dari 73 negara. Juga di peringkat kedua dari bawah, bukan? Mengamati indeks pendidikan nasional kita dalam laporan OECD, Indonesiamendapatkan nilai membaca 402, matematika 371, dan ilmu pengetahuan alam 383.Ini adalah sebuah fakta yang memalukan. Artinya bangsa ini, bukanlah bangsayang memiliki budaya baca yang tinggi, bukan pula bangsa yang maju dalampembangunan kualitas sumber daya manusia. Ya, bisa jadi ini memang sebuahironi. Kita memang harus menerima fakta ini. Fakta ini memang tidak bisa kitabantah, Namun bila kita dengan jujur melihat fakta di daerah, bisa sajakondisinya berbeda. Banyak kebutuhan anak akan bacaan menarik untuk dibaca,selama ini tidak dijawab oleh pemerintah.