[caption caption="Kondisi transportasi di Yangon"][/caption]
Oleh Tabrani Yunis
Malam ini, usai aku menyelesaikan tulisanku yang berjudul “ Melihat Timor Leste Menikmati kemerdekaannya” dan memasukannya ke Kompasiana, aku masuk ke POTRET Galery, untuk membantu pembeli yang membeli sejumlah souvenir pernikahan. Ketika sedang asyik melayani pembeli tersebut, aku teringat akan perjalananku ke kota Yangon, Myanmar atau yang dahulu sering sebut dengan Burma atau Birma itu. Birma atau Myanmar yang belakangan ini dikenal dan dicap berlaku sangat brutal dan biadab terhadap kaum Muslim Rohingya, yang membuat kaum Rohingya tumpah ruah mengungsi dan mencari tempat hidup di tempat yang aman, terutama Aceh.
Apa yang membuatku teringat dengan Yangon, Myanmar itu buka karena banyaknya pengungsi Rohingya yang diusir oleh pemerintah Junta militer Birma itu, tetapi mengingatkanku pada perbedaan kita yang ku temukan di Yangon, pada tanggal 1 Oktober- 5 Oktober 2014 yang lalu.
Ketika pesawat Malaysian Airline yang aku tumpangi dari Kuala Lumpur menuju Yangon mau mendarat, aku mengamati hamparan daratan dan danau dari jendela pesawat. Aku menemukan kesamaan alamnya. Ya, alam yang beriklim tropis dan memiliki musim yang sama dengan kita di Indonesia. Berarti, suasananya sama dengan kita di Indonesia, begitu tergurat dalam hati ku saat itu. Lalu, usai pesawat mendarat dengan mulus, aku turun dari pesawat menuju ruang imigrasi dan mencari pintu keluar. Tepat di pintu atau garda depan, aku melihat seorang gadis membawa namaku. Ia pasti datang ke bandara menjemputku dan mengantarku ke hotel.
Saat ingin naik ke Taxi, aku dikagetkan dengan sejumlah sopir Taxi. Bukan karena mereka berebutan penumpang, tetapi karena melihat kostum yang dipakainya. Bila sopir Taxi kita di Indonesia, mereka mengenakan pakaian atau kostum yang biasa saja, yakni menggunakan celana panjang dan kemeja atau baju kaos. Sangat berbeda dengan di Yangon, para sopir Taxi tersebut memakai kain sarung. Oleh sebab itu, ketika aku masuk ke Taxi, pikiranku terus berfikir hal yang aneh-aneh, sambil bertanya sendiri dalam hati, bagaimana sopir Taxi ini mengemudi Taxi dengan kain sarung? Kekagetanku itu ku simpan dalam hati dan Taxi melaju menuju KH Hotel yang ditempuh dalam waktu hanya sekitar 20 menit itu. Lalu, kemudian aku baru bertanya, mengapa para sopir itu pakai kain sarung ketika beroperasi? Phoo-phoo, gadis yang mengantarkanku ke hotel tersebut mengatakan bahwa itu namanya Linji, ya kalau kita di Aceh atau di Indonesia disebut sarung tersebut. Jadi, untuk saat ini, memakai linjie itu adalah sebuah perbedaan yang aku temukan disini.
Perbedaan lain yang aku temukan adalah ketika melihat plat mobil atau kendaraan roda 4 dan roda 6 atau roda 10, rupanya berbeda dengan kita di Indonesia. Bila di Indonesia kita melihat plat atau nomor polisi mobil untuk umum, seperti Taxi, truk dan armada angkutan berwarna kuning, maka di Yangon mereka menggunakan warna merah. Wajar saja aku kaget juga saat itu, mengapa mobil pemerintah dijadikan Taxi ya? Hmm, ternyata pertanyaanku jadi salah. Karena konsep nomor polisi di Yangon, Myanmar berbeda dengan di Indonesia. Sementara mobil pemerintah malah berwarna hitam dan dongker. Kalau kita di Indonesia, plat merah adalah kenderaan miliknya pemerintah, Jadi berbeda kan?
[caption caption="MObil umum bernopol merah, bukannya kuning"]
Memang berbeda. Nah, perbedaan yang lain adalah tentang penggunaan kendaraan juga. Kota yang Yangon, tampaknya menganut prinsip sebagai kota Zero motorcycles. Ya kota yang tidak ada sepeda motor. Hampir tidak ada satu pun sepeda motor yang melintasi di jalan – jalan raya di kota Yangon tersebut. Kita tidak melihat sepeda motor berseleweran di jalan raya, sebagaimana halnya kita di Indonesia.