Oleh Tabrani Yunis
Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh
Sebut saja namanya Bunga. Ya, tentu bukan nama sebenarnya. Gadis belia, 16 tahun ini masih bersekolah di kelas I SMA. Ia mulai terpengaruh dengan pergaulan remaja yang tergolong bebas. Bunga mulai pacaran. Pacarnya, jauh lebih dewasa dibandingkan usia Bunga. Ia pun kemudian sering berjalan keluyuran bersama pacarnya. Pergaulannya lepas dari control orang tua. Akibatnya, tak berapa lama pacaran, Bunga di usianya yang masih belia itu, tak kuat menahan nafsu. Bunga pun mulai muntah-muntah, karena hamil.
Mengetahaui Bunga hamil, orang tua Bunga merasa terkejut dan malu. Bunga berhadapan dengan problema yang berat. Di satu sisi, ingin menggugurkan kandungan, karena malu. Di sisi lain, tindakan itu merupakan tindakan dosa dan  sangat berbahaya bagi Bunga. Sehingga, satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah menikahkan Bunga dengan pacarnya. Namun, untuk dinikahkan di KUA, pihak KUA menolak, karena Bunga masih di bawah umur. Akhirnya, Bunga terpaksa melakukan nikah siri. Bunga pun sudah tidak bisa melanjutkan pendidikan. Ia terpaksa meninggalkan bangku sekolah. Putuslah harapan orang tua terhadap pendidikan Bunga.
Lain lagi dengan Mawar, juga bukan nama sebenarnya. Mawar yang berparas cantik itu, lahir dari keluarga miskin, anak ke tiga dari 6 bersaudara. Abangnya yang tertua, sudah tidak bersekolah lagi, hanya tamat SD. Begitu pula abangnya yang kedua hanya tamat SMP. Sementara Mawar, 16 tahun juga baru tamat dari SMP. Ia sangat ingin bisa melanjutkan sekolah, paling kurang setingkat SMA. Namun, karena kondisi kehidupan ekonomi orang tua yang semakin berat, setamat SMP, Mawar tidak melanjutkan lagi pendidikan ke tingkat SMA. Sekali lagi, orang tuanya tidak sanggup menyekolahkan Mawar bersekolah di SMA. Ia terpaksa menganggur, ikut membantu orang tua ke sawah. Namun, tak lama berselang, Mawar pun dilirik oleh seorang pemuda di kampungnya. Lirikan itu berlanjut dengan sebuah lamaran kepada pihak orang tua. Tanpa pikir panjang, juga karena beratnya kondisi keuangan keluarga, akhirnya lamaran itu diterima oleh kedua orang tua Mawar. Padahal, usia Mawar masih 16 tahun. Ia masih mau sekolah. Namun, agar bisa meringankan beban orang tua, Mawar terpaksa menikah dini.
Nasib Sutik, perempuan asal Tegaldowo, Rembang, Jawa Tengah, seperti ditulis Noni Arni (DW,16/11/2009), pertamakali dijodohkan orang tuanya pada usia 11 tahun. Kuatnya tradisi turun temurun membuatnya tak mampu menolak. Terlebih lagi, Sutik juga belum mengerti arti sebuah pernikahan. Sutik adalah satu dari sekian banyak anak perempuan di wilayah Tegaldowo, Rembang, yang dinikahkan karena tradisi yang mengikatnya. Kuatnya tradisi memaksa anak-anak perempuan di sini melakukan pernikahan dini.
Begitu banyak kisah sedih dan memilukan yang dialami oleh anak-anak perempuan di banyak tempat atau wilayah dipermukaan bumi ini. Kisah sedih itu baru kita jumpai dan terasa memilukan bila kita mau dan peduli terhadap nasib mereka. Mengapa menjadi hal yang menyedihkan dan memilukan? Jawabnya sederhana, karena anak-anak perempuan yang masih berusia 18 tahun tersebut seharusnya adalah usia anak yang masih ingin bermain, bersekolah, dan mendapatkan perlindungan dari orang tua dan Negara. Namun, ketika anak-anak tersebut dinikahkan pada usia di bawah 18 tahun, maka mereka dengan terpaksa meninggalkan dunia bermain dan hak-hak azasi mereka. Padahal, dalam UU Perlindungan Anak dengan jelas disebutkan pula mengenai kewajiban orangtua dan masyarakat untuk melindungi anak, serta kewajiban orangtua untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak sebagaimana diatur dalam pasal 26. Bahkan sangsi pidana berupa hukuman kurung penjara dan denda diatur dalam pasal 77-90 bila didapatkan pelanggaran terhadap pasal-pasal perlindungan anak 18.
Namun, praktek pernikahan anak di Indonesia masih saja terus terjadi. Dalam konteks Indonesia, tercatat sebanyak 2.048.000 perkawinan yang terjadi di Indonesia. Deutcshe Welle (DW) German menyebutkan laporan Badan Perencanaan Pembangunan Bappenas tahun 2008, dari 2 juta lebih pasangan yang melakukan pernikahan, angka pernikahan dini dibawah 16 tahun mencapai hampir 35 persen.
Di tataran global, badan PBB, yang menangani soal anak-anak, UNICEF baru-baru memaparkan, bahwa pernikahan anak tersebar luas. Sebuah badan PBB dalam sebuah rilis menyebutkan bahwa lebih dari 700 juta perempuan yang hidup saat ini menikah saat masih anak. Lebih dari 1 dari 3 anak – atau sekitar 250 juta – menikah sebelum usia 15 tahun.
Jadi, praktek menikahkan anak-anak yang masih di bawah umur yakni di bawah 18 tahun hingga kini masih banyak dan terus dilakukan di Indonesia dan di belahan dunia lainnya. Munculnya praktek pernikahan anak ini tentu disebabkan oleh banyak factor. Mulai dari factor kemiskinan yang masih tinggi, factor budaya, factor politik tubuh perempuan, serta factor-faktor lain yang bisa bernuansa bisnis, baik oleh pihak luar keluarga, maupun pihak keluarga sendiri. Di samping itu, factor ketidaktegasan yuridis juga sangat berperan. Misalnya perbedaan atau kontradiksi antara usia yang ditetapkan dalam Undang-Undang Perkawinan dengan Konvensi hak anak, yang berbeda dalam menetapkan batas usia tersebut, membuat praktek pernikahan anak hingga kini belum dapat ditinggalkan. Di satu sisi bertentangan, di sisi lain dibolehkan. Sehingga, posisi anak perempuan menjadi sangat tidak berdaya.
Ketidakberdayaan itu semakin parah, karena pernikahan anak di usia dini itu sangat berisiko bagi anak-anak di bawah umur tersebut. Ditambah lagi dampak lainnya seperti hilangnya hak- hak anak. Salah satunya adalah hilangnya hak anak atas pendidikan. Karena ketika ia sudah dinikahkan, ia sudah diputuskan hubungannya dengan dunia sekolah. Ia sudah tidak bisa lagi mengenyam indahnya bangku sekolah, sebagaimana layaknya anak-anak lain yang sedang menikmati sekolah. Ujung dari praktek pernikahan anak ini, menempatkan anak perempuan pada posisi yang sangat riskan dan rentan, bahkan menempati posisi sebagai pewaris kebodohan dan kemiskinan, karena sudah tidak ada lagi waktu untuk belajar. Ia akan disibukkan dengan urusan rumah tangga yang belum sanggup secara fisik dan psikis, sehingga tidak ada lagi waktu untuk belajar, mendapatkan hak atas segala ilmu dan ketrampilan, kecuali mengasuh anak dengan segala keterbatasan.