Tadi pagi, Sabtu 29 Oktober 2016, usai berolahraga sepeda selama lebih kurang 30 menit 'ku berhentikan sepeda di depan POTRET Gallery. Kuambil koran yang diantarkan oleh loper koran yang ditempatkan di atas bangku panjang, bersebelahan dengan tempat tinggalku. Aku sejenak membaca headline berita hari ini. Karena kemarin, 28 Oktober 2016 berlangsung acara penyampaian visi dan misi calon gubernur Aceh, maka tentulah halaman depan koran harian Serambi bercerita soal itu. Namun, aku lebih tertarik membaca judul-judul berita yang ada lebih dahulu. Mataku tertuju pada sebuah berita kriminal. Bukan karena aku suka membaca berita kriminal, tetapi karena aku tergugah membaca berita yang menurutku sangat memprihatinkan. Betapa tidak, di halaman 3 harian Serambi Indonesia edisi 29 Oktober 2016 itu, sebuah judul berita yang terasa memalukan dan memalukan serta sangat miris. Berita itu berjudul 'Curi Celeng Masjid, Tiga Siswa Ditangkap'.
Berita itu memaparkan bahwa Personel Polsek Luengbata, Banda Aceh menangkap tiga dari empat pencuri celengan amal berukuran besar milik masjid jamiek, Luengbata Banda Aceh yang terekan CCTV pada Hari Rabu, 19/10/16 pukul 03.00 WIB. Hmm, tentu saja ini bukan berita yang mengejutkan, karena kegiatan mencuri dalam masyarakat kita selama ini sudah menjadi tindakan atau kegiatan yang semakin lumrah terjadi. Dikatakan lumrah, tindakan pencurian itu sangat sering terjadi. Semakin banyak orang yang merasakan bahwa mencuri bukanlah hal yang membuat orang merasa malu, malahan banyak yang merasa bangga menjadi pencuri. Bangga, karena mencuri tidak disebut lagi sebagai maling, tetapi disebut sebagai koruptor. Koruptor kelas teri, malah tidak keren, tetapi semakin besar dana yang dikorupsi, maka semakin hebat dan semakin bangga. Buktinya, banyak koruptor yang tersenyum ketika para wartawan mengarahkan lensa kamera ke arah para koruptor tersebut. Bisa jadi, semakin menyenangkan kalau para wartawan mau mewawancarai mereka dan menayangkan di televisi. Kita sudah banyak melihat contohnya selama ini, bukan?
Lalu, apakah gerangan yang membuat mataku melirik kepada berita tersebut? Apa yang membuat mulutku berdecak? Apa pula yang menarik hatiku untuk melototi dan membaca pelan-pelan isi berita tersebut. Memang, di satu sisi, apa yang membuat mataku melirik ke berita itu dan apa yang membuat mulutku berdecak serta hatiku tertarik untuk membaca serta menyimak isi berita tersebut adalah karena mereka mencuri celengan masjid. Menurutku, ini adalah tidak yang keterlaluan dan sulit dimaafkan. Namun ternyata, bukan hanya karena itu saja. Apa yang membuatku semakin terpana ketika di bagian bawah tulisan tersebut, ada judul berita yang lebih kecil, yakni untuk pesta sabu. Menurut pengakuan 3 tersangka, masing-masing AF(17), RF (18) dan KH (17), tiga pencuri celengan masjid itu selain untuk kebutuhan sehari-hari, uang hasil mencuri itu mereka pakai untuk pesta sabu-sabu di rumah RF. AF dari hari pertama ditangkap masih sakau, bahkan hingga hari ini kondisi tersangka masih belum stabil dan mengaku kedinginan.
Nah, hatiku merasa trenyuh membaca kasus yang menimpa 3 siswa ini. Karena merasa prihatin, aku mengambil foto berita itu dan mengunduhnya ke instagram yang langsung di-share di facebook dan twitter. Aku lakukan ini, untuk melihat seberapa besar rasa keprihatinan kita ketika membaca berita semacam ini. Namun, bagiku pribadi, ini adalah sebuah fakta betapa generasi bangsa kita, terutama para generasi muda, semakin mengalami kemunduran moral dan menempatkan diri pada kondisi yang semakin berbahaya secara sistemik. Betapa generasi muda kita di Indonesia dan di Aceh khususnya semakin cenderung dan gemar memakai atau mengonsumsi barang-barang yang membahayakan bagi diri mereka? Bisa jadi sangat banyak pertanyaan yang harus ditanyakan dan dijawab, terkait dengan semakin digandrunginya sabu-sabu oleh masyarakat kita di Indonesia dan Aceh khususnya.
Saat ini, hampir setiap hari kita membaca berita mengenai kejahatan narkoba di media massa di tanah air. Begitu pula di Aceh. Berikut adalah beberapa berita yang terjadi bulan ini. Tanggal 27 Oktober 2016, SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH memberitakan sebagai berikut: Polresta Banda Aceh memusnahkan sabu-sabu sebanyak 4,903 Kg dengan cara diblender di halaman Mapolresta Banda Aceh, Kamis (27/10/16). Kapolresta Banda Aceh, Kombes Pol T Saladin SH mengatakan sabu-sabu seberat 4,903 Kg itu ditangkap dari tangan AA (47) di Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) Blangbintang, Aceh Besar, 26 September 2016 lalu.
Berita mengenai peredaran sabu-sabu di Aceh akhir-akhir ini semakin banyak. Bisa jadi, tidak cukup halaman untuk kita ceritakan tentang maraknya kasus narkoba di Aceh dan di Indonesia. Di Aceh saja beritanya setiap hari menjadi pemberitaan. Apalagi kalau ditelusuri di daerah lain, bisa jadi berita kasus narkoba, dari berbagai jenis hingga sabu-sabu itu akan membuat kita muak membacanya, atau sebaliknya karena setiap hari menjadi berita, banyak orang yang tidak membacanya lagi, karena sudah menjadi hal yang lumrah atau biasa.
Tentu bukan isapan jempol. Bukan pula berita yang dibuat-buat. Namun sebagaimana dituturkan oleh Kepala Badan Kesbangpol dan Linmas Aceh, Saidan Nafi mengungkapkan ada wilayah Aceh yang perekonomiannya kini dikuasai gembong narkoba. Informasi tentang adanya wilayah Aceh yang ekonominya dikuasai gembong narkoba diungkapkan Saidan dalam pidatonya ketika membuka Workshop Upgrading dan Orientasi Pengurus Ikatan Keluarga Anti-narkoba (IKAN) DPP dan DPD Banda Aceh di Aula Kesbangpol dan Linmas Aceh, Sabtu (15/10/2016), sebagaimana diberitakan oleh harian Serambi Indonesia edisi 15 Oktober 2016 yang lalu. Jadi sangat menakutkan, bukan?
Ya, sangat menakutkan bila kita melihat realitas sosial peredaran narkoba, terutama jenis sabu-sabu di Aceh saat ini. Bila kita merujuk pada data yang dihimpun Kepolisian Daerah (Polda) Aceh sepanjang tahun 2015 terhadap kasus narkotika, mengalami peningkatan dari tahun 2014 sebanyak 943 kasus menjadi 1170 kasus di tahun 2015. “Dari jumlah itu, Polda menetapkan 1.685 orang tersangka yang terdiri dari 1.631 laki-laki dan 54 orang perempuan,” kata Kapolda Aceh, Irjen Pol. Husein Hamidi, Kamis (31/12/2015). Demikian dipaparkan dalam rilis Polda Aceh di akhir tahun 2015. Kita pasti bisa pastikan bahwa jumlah kasus narkoba terus meningkat sepanjang tahun 2016 ini.
Meningkatnya jumlah pengguna, pemakai dan penyebar sabu-sabu di Aceh adalah sebuah ancaman nyata dan besar serta sistemik terhadap generasi bangsa Indonesia umumnya dan Aceh khususnya. Ini adalah sebuah bencana besar bagi bangsa ini. Karena bahaya narkotika jenis sabu-sabu dan lainnnya akan merusak kualitas bangsa ini. Ya, karena narkoba yang dikonsumsi oleh banyak kalangan generasi muda dan bahkan generasi tua di tanah air, akan merusak tubuh mereka secara sistemik. Tak dapat dipungkiri bahwa semakin banyak orang yang menjadi gila dan membuat rumah sakit jiwa semakin tidak cukup untuk menampung orang-orang yang hidup dengan narkoba. Semakin banyaknya orang yang menjadi korban narkoba, maka semakin besar biaya yang harus dianggarkan atau dikeluarkan oleh pemerintah untuk melakukan aksi rehabilitasi yang belum tentu bisa menyembuhkan mereka. Jadi, memang sangat berbahaya dan sangat mengancam generasi bangsa ini.
Tampaknya, saat ini untuk membunuh dan memerangi bangsa Indonesia, atau dalam konteks yang lebih kecil, Aceh, sudah tidak diperlukan alat perang yang serba canggih dan sangat mahal itu. Cara yang termudah dan tergolong murah adalah dengan membuat masyarakat Indonesia sakau dengan narkoba. Tidaklah selayaknya ini terus terjadi dan dibiarkan terjadi. Pemerintah harus dengan sungguh-sungguh melakukan upaya pencegahan dengan menetapkan hukuman yang sangat berat, yang membuat pemakai, apalagi pengedar jera dan sadar akan dampak bencana yang mereka buat sendiri. Mengonsumsi dan mengedarkan sabu-sabu atau narkoba jenis lainnya di tengah masyarakat kita untuk mencari keuntungan yang besar adalah sebuah tindakan bunuh diri dan membunuh generasi bangsa.
Sumpah Pemuda
Bulan Oktober ini, tepatnya pada tanggal 28 Oktober adalah bulan dan tanggal yang diperingati sebagai hari Sumpah Pemuda, setelah bangsa Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 berikrar, bersumpah untuk mempertahankan keutuhan bangsa Indonesia yang berbangsa satu, bangsa Indonesia. Bertanah air satu, tanah air Indonesia dan berbahasa satu, Bahasa Indonesia. Sumpah dan ikrar untuk menjaga keutuhan Indonesia. Artinya, para pemuda Indonesia saat itu sudah mengikrarkan dan bersumpah untuk menjaga agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang tidak terpecah belah oleh wilayah, oleh suku dan juga oleh bahasa. Sesungguhnya, makna dari sumpah itu bukanlah hanya sekedar keutuhan itu, namun lebih luas adalah bagaimana membangun keutuhan kualitas bangsa.