Mohon tunggu...
Politeknik Ketenagakerjaan
Politeknik Ketenagakerjaan Mohon Tunggu... Dosen - Program Studi Manajemen Sumber Daya Manusia

Visi Menjadi Program Studi unggul dalam menghasilkan Sumber Daya Manusia yang kompeten di bidang Manajemen Sumber Daya Manusia pada tahun 2033”

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Merubah Paradigma Demi Membangun Desa

21 Oktober 2011   12:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:40 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul Buku: Kembali ke Khittah Ekonomi Kerakyatan ; Bunga Rampai Pemikiran Tentang Bedah desa.

Penulis: Helmy faishal Zaini

Penerbit: Aneka Ilmu

Tebal : 42 halaman

Rasanya masih kikuk, untuk mengatakan bahwa saat ini banyak pemimpin kita yang mau memikirkan tentang desa. Kebanyakan pemimpin menganggap desa adalah komponen kedua setelah kota. Desa dianggap kelas nomor dua, tidak begitu penting, akibatnya pembangunan desapun terlupakan. Salah satu indikator akan hal tersebut adalah sedikitnya buku atau hasil penelitian yang mendesain tentang pembangunan desa. Buku-buku dan penelitian yang ada saat ini, lebih menitikberatkan pada pembangunan dan penelitian tentang masyarakat modern, yaitu kaum kota. Keadaan demikian diperparah dengan adanya kecenderungan para sarjana putera daerah yang lebih merasa nyaman tinggal di kota. Mereka enggan kembali ke desanya.

Di tangah kondisi demikian, buku dengan judul Kembali Ke Khittah Ekonomi Kerakyatan ini hadir dari seorang pemimpin yang peduli dengan pedesaan. Buku ini adalah tulisan refleksi Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal, Helmy Faishal Zaini, tentang strategi membangun desa. Tentu saja, bunga rampai ini patut diapresiasi karena hadir di tengah keenggenan untuk membuat terobosan di desa.

Intisari buku ini adalah tentang ide dasar program unggulan Kementerian Pembengunan Daerah Tertinggal, yaitu Bedah Desa. Program Bedah Desa ini terdiri atas berbagai bentuk program, antara lain, program listrik masuk desa, perbaikan infrastruktur berupa jalan poros desa, pasar desa, warung informasi desa atau desa “bordering”dan pengembangan agribisnis pedesaan.

Namun, sebelum pembangunan infrastruktur tersebut dilaksanakan, terlebih dahulu harus diawali dengan merubah paradigma. Hal ini adalah kunci awal yang bisa menumbuhkan gairah masyarakat desa untuk mau maju. Buku ini mengetengahkan beberapa paradigma yang harus diubah, guna menuju pembangunan desa yang baik.

Menurut Helmy, untuk mempercepat proses pengentasan daerah tertinggal, baik di kawasan perbatasan maupun di daerah konflik, rawan bencana, dan kawasan timur Indonesia, diperlukan paradigma baru. Bila sebelumnya paradigma pembangunan berbasis kawasan, maka sekarang paradigmanya harus berbasis pada pedesaan (base on vilage). Dengan paradigma baru ini, maka sasaran pengentasan daerah tertinggal langsung ke jantungnya, yaitu desa sebagai center komunitas.

Pembangunan yang berbasis pedesaan sangat penting dan perlu untuk memperkuat perekonomian negara, mempercepat pengentasan kemiskinan dan pengurangan kesenjangan perkembangan antar wilayah.

Selain perubahan paradigma di atas, Helmy juga menawarkan perubahan cara pandang. Kecenderungan stigma yang melekat pada masyarakat pedesaan selalu identik dengan perilaku dan sikap yang dianggap kolot dan tradisional, yang dilawankan dengan sikap dan perilaku orang kota yang maju dan modern.

Terjadinya keterbelakangan sosial masyarakat desa dalam pembangunan dinisbatkan karena sulitnya masyarakat desa menerima budaya modernisasi, sulit untuk menerima teknologi baru, malas, dan tidak mempunyai motifasi yang kuat, merasa cukup puas dengan pemenuhan kebutuhan subsistem (kebutuhan pokok yang paling dasar), dan budaya Shared Proverty.

Cara pandang demikian, tulis Helmy, harus diubah secara total. Karena perilaku dan sikap yang dinisbatkan ke masyarakat pedesaan yang cenderung negatif itu tidak seluruhnya benar secara empiris. Faktor-faktor kemiskinan yang terjadi di masyarakat pedesaan cenderung lebih bersifat struktural dibandingkan bersifat kultural. Mereka miskin bukan karena mereka malas dan sulit menerima perubahan, tetapi karena faktor struktur yang ada kurang berpihak pada masyarakat pedesaan.

Menggali Yang Terpendam

Selain menawarkan perubahan paradigma dan konsepsi pengembangan infrastruktur desa, buku ini juga menawarkan strategi memanfaatkan “mutiara-Mutiara” atau potensi daerah yang terpendam. Sebagaimana telah banyak kita baca dari media maupun dari berbagai penelitian, bahwa sekian banyak dari daerah tertinggal ternyata mempunyai kekayaan alam dan potensi yang meruah. Namun, potensi dan kekayaan ini justeru tidak bisa menjadikan masyarakat setempat menjadi makmur, bahkan mayarakat kotalah yang menikmati kekayaan alam dan potensi daerah, ini ironis.

Nah, bunga rampai ini juga membahas pemanfaatan potensi dan kekayaan alam di daerah tertinggal. Tentu saja, strategi yang ditawarkan tidak bersifat mutlak, tetapi menyesuaikan dengan kondisi di masing-masing daerah.

Namun, tulis helmy, ada strategi universal yang bisa diterapkan di semua daerah. Yaitu pengembangan ekonomi lokal dengan berlandaskan pada pendayagunaan potensi sumber daya lokal (Sumberdaya Manusia, Sumberdaya Kelembagaan, serta Sumberdaya fisik) yang dimiliki masing-masing daerah, oleh pemerintah dan masyarakat, melalui pemerintah daerah maupun kelompok-kelompok kelembagaan berbasis masyarakat yang ada.

Selain itu, Helmy juga menawarkan solusi membuka keterisolasian daerah tertinggal agar mempunyai keterkaitan dengan daerah maju dan peningkatan kapasitas, baik kapasitas kelembagaan maupun kapasitas sumberdaya manusia pemerintah dan masyarakat di daerah tertinggal.

Buku ini cocok dibaca oleh para pejabat daerah, lebih-lebih para walikota, sehingga mereka mempunyai cara pandang dan paradigma yang searah dengan Pemerintah Pusat, Khususnya Kementerian Daerah Tertinggal. Kesamaan cara pandang tersebut akan mempercepat proses pengentasan suatu daerah dari ketertinggalan.

Selain para kepala daerah, buku ini juga sangat cocok dibaca oleh kalangan mahasiswa serta para peneliti yang mempunyai konsentrasi pada otonomi daerah. Selamat membaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun