Mohon tunggu...
Tabita Larasati
Tabita Larasati Mohon Tunggu... Desainer - disainer

suka jalan-jalan dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Budaya dan Memperkuat Akar Islam di Indonesia

18 Oktober 2024   19:30 Diperbarui: 18 Oktober 2024   19:37 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama tiga dekade ini , beberapa dari kita mungkin merasakan ada yang berbeda dengan suasana kebangsaan kita terutama soal pluralisme. Di masa lalu kita sering melihat kerukunan umat beragama sangat kental. Saat Idul Fitri bahkan Natal, warga satu RT atau satu gang di satu wilayah akan berjajar untuk mengucapkan selamat Natal atau Idul Fitri.

Kini suasana seperti itu jarang bahkan tidak dijumlai lagi, kecuali di beberapa wilayah tertentu. Kini banyak dijumpai kawasan perumahan berdasarkan agama tertentu. Bersifat eksklusif dan tertutup. Ada juga kajian-kajian tertentu yang bersifat eksklusif dari kalangan tertentu juga. Mereka mendatangkan penceramah-penceramah agama yang mereka pandang memberikan pencerahan soal agama yang murni.

Ada juga suasana tidak enak antar saudara, ketika ibu atau bapak mereka meninggal. Ada yang menginginkan tahlilan secara periodic, ada yang menentangnya. Kemudian mereka bertengkar hanya karena penceramah yang diundang, satu sisi ada kerabat yang menginginkan penceramah yang moderat namun ada yang penceramah tertentu yang terkenal di media sosial yang disinyalir mengajarkan intoleran.

Seorang ulama , sebut saja Abdurrahman Wahid pernah menengarai satu gelombang faham tertentu yang masuk ke Indonesia dan mempengaruhi banyak warga, yaitu gelombang yang mengatsnamakan pemurnian agama. Ini tak lepas dari keterkenalan Ikhwanul Muslim (IM) di Mesir yang semangatnya menyebar ke seluruh dunia.

Faham itu tak lepas dari pengaruh politik. IM pun demikian , adalah sebuah perjuangan politik dan  paham itu masuk secara diam-diam dan berusaha untuk dinetralisir oleh kaum moderat. Pengaruh faham itu kemudian mengubah pluralisme di Indonesia. Orang kemdian mempersoalkan tahlilan, mempersoalan budaya -budaya lokal yang diakrabi oleh agama sejak abad ke 15 , saat Islam mulai tumbuh dan besar di Indonesia.

Jika faham baru itu mengukur kedaulatan umat beragama adalah hadirnya sebuah sistem politik yang mereka klaim sesuai dengan syariat Tuhan. Padahal, kedaulatan Islam sejati misalnya tidak diukur dari sistem politik tertentu, tetapi dari bagaimana umat Muslim dapat menjalankan ajaran agama dengan hikmah, memahami budaya lokal, dan memberikan kontribusi nyata di masyarakat.

Umat beragama yang berdaulat adalah mereka yang dapat menjalankan agama dengan penuh keyakinan, sambil tetap menjadi bagian integral dari tanah airnya. Dengan merangkul kearifan lokal, Muslim dapat menunjukkan bahwa Islam relevan dan mampu memberikan solusi pada berbagai tantangan masyarakat modern.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun