Mohon tunggu...
Tabita Larasati
Tabita Larasati Mohon Tunggu... Desainer - disainer

suka jalan-jalan dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Toleransi dan Perdamaian untuk Kemajuan Bangsa

11 September 2024   23:27 Diperbarui: 11 September 2024   23:31 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Lawatan Sri Paus Fransiskus selama empat hari di Indonesia, membawa keteduhan yang luar biasa bagi warga Indoensia. Tidak hanya umat Katolik, namun juga umat beragama lain, yang juga mengakui bahwa vibrasi keteduhan Sri Paus juga mereka rasakan berhari- bahkan setelah Paus meninggalkan Indonesia.

Vibrasi keteduhan dan ketenangan itu juga dirasakan oleh warga  Papua Nugini. Meski umat Katolik di negara itu cukup banyak, namun keberagaman mereka juga cukup tinggi terutama etnis dan bahasa. Beberapa sumber mengatakan bahwa Paus membawa ketenangan untuk mereka.

Namun memang ada beberapa berita minor tentang Paus, diantaranya seorang ulama sampai menuntut Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dan Imam Besar Istiqlal Nasaruddin Umar dicopot dari jabatannya gegara menyambut Sri Paus Fransiskus. Tudingan ini terasa tidak etis dan aneh mengingat penghormatan antaragama adalah bagian dari etika dan toleransi yang diajarkan dalam Islam.

Seharusnya ulama bahkan awam mendorong setaraan , dialog dan persaudaraan sebagai bagian dari relasi antar umat beragama. Dan bukan sikap-sikap negatif seperti yang ditunjukkan oleh ulama itu yang berkatagori intoleransi.

Sepajang hidupnya Paus bekerja untuk kemanusiaan termasuk ketidak adilan. Terhdap yang tersisih dan tidak berdaya Paus selalu memikirkannya dan bekerja untuk mendapatkan keadilan, kemanusiaan, dan kesetaraan untuk bisa hadir di tengah umat manusia. Paus memiliki posisi keberpihakan yang jelas dan kuat terhadap kaum miskin, menderita, dan tertindas di manapun tanpa mempersoalkan identitas mereka.

Karena itu keterdekatannya dengan warga sangat kental dalam kunjungan 4 hari itu. Tanpa mobil mewah, tanpa kaca anti peluru, warga yang bisa menyentuh Paus, bahkan juga terbuka bagi umat beragama lain untuk bertemu Paus. Semuanya ini memendarkan kesetaraan dan toleransi. Sehingga sikap-sikap intoleransi dalam konteks kedatangan beliau sangatlah aneh apalagi dilakukan oleh seorang tokoh agama.

Negara kita tengah berada di masa transisi pemerintahan. Aura transisi ini amat baik karena berbeda dengan era-era sebelumnya yang kadang penuh dengan antitesa. Kini antara pemerintahan lama dan pemerintahan yang akan datang meski pernah berkompetisi, namun keduanya kini bekerjasama dengan baik.

Karena itu, siapapun dari kita, awam, birokrat, seniman, ulama dan lainsebainya, seharusnya memahami bahwa energi yang sebelumnya habis untuk saling menghujat bahkan saling membenci, kini tidak ada gunanya. Energi yang ada sebaiknya untuk membangun demi kemajuan bersama. Tak ada yang lebih baik dari itu semua adalah perdamaian antara umat beragama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun