Generasi Z atau bahkan generai Alpha mungkin mengindetikkan peringatan hari Kartini dengan kebaya dan sekolah yang mengharuskan memakai baju daerah. Memang tidak ada hubungan yang era antara kebaya dan sekolah, namun keduanya dihubungkan dengan tradisi dan simbolisasi yang sangat dalam maknanya.
Kartini hidup lebih dari seabad lalu, dimana  tradisi kuno Jawa masih melekat erat. Apalagi Kartini adalah seorang priyayi yang selalu harus tunduk pada tradisi, meski dia sempat menyenyam pendidikan rendah.
Kartini kala itu harus dipingit usai menyelesaikan pendidikan dasarnya. Sesuatu yang lumrah untuk remaja seusianya waktu itu. Namun bagi Kartini yang sudah mengenyam pendidikan dipingit adalah sesuatu yang menyiksanya karena menurutnya dia seharusnya bisa menikmati masa muda (remaja) dengan penuh kegembiraan dan semangat untuk maju. Baginya, dipingit di rumah sama saja dengan menyia-nyiakan menikmati masa muda yang indah itu.
Jika kita bandingkan dengan kondisi remaja sekarang, itu sama dengan memutar 180 derajat. Kondisi dan situasinya amat berbeda. Masyarakat sekarang mengenal istilah dipingit  pernikahan, dan itu hanya berlangsung beberapa jam sebelum pernikahan (18-24 jam). Jika dibandingkan dengan masa lalu, dipingit bisa berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sejak si gadis remaja sampai akan menikah.
Dengan regulasi tentang kesetaraan gender yang telah dibuat oleh pemerintah, Â Indonesia punya kemajuan berarti soal emansipasi; sesuatu yang diperjuangkan Kartini melalui pemikirannya.
Kini kita bisa melihat Presiden perempuan, menteri perempuan, ketua DPR/MPR perempuan. Kita juga bisa melihat ada tukang ojek perempuan, staf pom perempuan dan lain sebagainya. Artinya kesetaraan gender adalah nyata, banyak profesi yang sebelumnya adalah profesi laki-laki , juga dilakukan oleh perempuan.
Persoalan akses terhadap banyak hal juga begitu. Bagaimana perempuan juga punya hak sama dengan laki-laki dalam memperoleh informasi, memanfaatkannya sampai mendapat keuntungan dari informasi dan teknologi itu. Dengan demikian perempuan juga berkesempatan untuk mendapatkan penghasilan dari hal hal itu. Kita bisa melihat sekarang banyak selegram perempuan yang bisa mendapat penghasilan dari membuat konten dan aktivitas yang melibatkan media sosial.
Sampai di sini, kita bisa merenungkan sejauh apa kemajuan yang sudah diupayakan pemerintah soal emansipasi perempuan, dan bagaimana kita bisa memanfaatkan hal itu.
Bagaimanapun perempuan adalah subyek dan bukan sekadar obyek seperti zaman Kartini dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H