Mohon tunggu...
Tabita Larasati
Tabita Larasati Mohon Tunggu... Desainer - disainer

suka jalan-jalan dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tantangan Intoleransi di Bidang Pendidikan

5 Mei 2023   22:01 Diperbarui: 5 Mei 2023   22:09 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak Indonesia terbentuk, negara kita ini adalah negara pluralis artinya ada dengan berbagai macam etnis, bahasa, keyakinan dll. Karena dari Sabang sampai Merauke punya kebudayaan tersendiri yang memang ada sejak dahulu. Karena itu juga, kita punya semboyan bhineka tunggal ika.

Hanya saja itu tidak serta merta membuat seluruh masyarakat Indonesia menjadi warga negara yang ramah dengan pluralisme. Toleransi yang pernah kental di masyarakat kita lambat laun terkikis oleh faham lain yang tidak dipahami dengan tepat konteksnya.

Faham ini serin membawa kita berbeda dari seharusnya. Semakin banyak keragaman yang ada malah semakin membuat warga Indonesia memiliki rasa intoleransi yang lebih tinggi dari sebelumnya. Sederhananya rasa intoleransi warga Indonesia lebih tinggi dari rasa toleransi. Ini tercermin dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan, baik oleh akademisi maupun lembaga yang konsern soal pluralisme.

Hasil survey Wahid Institute menyatakan bahwa warga Indonesia punya sikap intoleransi mencapai 54 %. Sedangkan dalam survey yang dilakukan Setara Institute menyasar pada siswa untuk mencari tahu soal intoleransi dan mendapati bahwa 61,1 % dari 760 siswa termasuk toleran sendangkan selebihnya yaitu 38,8% intoleran bahkan mengarah ke keinginan untuk melakukan aksi terorisme.

Survey yang dilakukan oleh Setara juga menungkapkan bahwa guru dalam hal ini lembaga pendidikan memegang peran penting karena pengetahuan keagamaan didapat siswa dari guru. Sedangkan dari keluarga (orangtua) adalah sebesar 23,3 %

Meski survey Setara menunjukkan siswa yang toleran jauh lebih banyak dibanding yang intoleran, namun sebenarnya angka itu membuat kita tidak hepi. Karena tidak bisa dipungkiri, paparan intoleransi sangat keras menerpa bangsa kita dengan berbagai cara, antara lain dengan cara memasukkan simpul-simpul inti intoleransi di beberapa kertas tugas atau ujian sekolah. Di media massa masih sering kita temukan kasus-kasus itu di beberapa kota seperti Jakarta, Depok atau Bekasi.

Faktor lain yang menyebabkan intoleransi kian berkembang adalah faham transnasional yg jauh dari nilai-nilai Pancasila. Faham ini mengandalkan pemahaman bahwa ajaran mereka murni namun sering mencederasi konteks sosial dan budaya lokal. Padahal islam di Indonesia berkembang dan menjadi besar sekarang ini karena proses akulturasi dengan budaya setempat. Kita melihat upaya Wali Songo yang melibatkan budaya setempat untuk menyebarkan ISlam.

Inilah tantangan kita bersama untuk memerangi intoleransi di dunia pendidikan. Kita tidak bisa mengandalkan Kemendikbud karena upaya pemerintah soal intoleransi cukup maksimal. Kita perlu menjaga diri kita, keluarga kita dan lingkungan pendidikan kita dari faham itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun